Pages

Dongeng Kehidupan II

Tuesday, March 13, 2007

Titip Rindu Buat Laila
Cerpen Agus Khudlori*

Ia tersenyum, manis sekali. Lesung pipi itu, wajah anggun itu, sorot mata itu, senyuman itu...Bagaikan malam, ia adalah rembulannya. Bagaikan taman, ia adalah bunga terindah yang tumbuh di dalamnya. Ia berjalan, menapaki jalanan kotor berdebu. Pakaian dan kerudung panjang membungkus sekujur tubuhnya. Putih, seputih hatinya. Suci, sesuci jiwanya. Entah, aku merasa mengenalnya. Tidak cepat, tidak juga lambat ia melangkah. Semakin jauh langkahnya, semakin memburamkan pandanganku. Bayangannya lalu menghilang dari hadapanku. Aku masih berdiri kaku diatas tempatku berpijak. Ingin kuikuti langkahnya, tapi kakiku terasa terbujur kaku.
Sore kemarin aku melihatnya. Semakin lama aku mengingatnya, semakin erat bayangan dirinya melekat pada memoriku. Semakin jauh ia pergi, semakin dekat ia kurasakan. Tak kuhiraukan seruan adzan yang menderu-deru menyayat kalbu, juga bisikan kalam Tuhan yang dilantunkan di samping tempatku berbaring mesra dengan buaian hayalan di dalam selimut tebal. “Nikmat Tuhanmu mana lagi yang engkau dustakan?” suara Rohim mengakhiri bacaan panjangnya tak mampu menyentuh relung batinku. Hanya bagai angin lalu. Aku terjaga, tapi terdiam bagai patung. Aku terbujur lepas, tapi raga bagai terpasung. Mengapa diriku? Ahh, bayangan itu...
***

Siapakah dirinya?
Aku berjalan menapaki keheningan. Sudah seminggu berlalu sejak aku melihatnya. Sore itu ia melintasi jalan ini. Kutelusuri jejak langkahnya yang kini mungkin telah berganti dengan jejak langkah keledai dan anjing-anjing liar. Aku berharap menemukannya. Atau paling tidak, ia akan kembali melintasi jalan ini yang dilaluinya waktu itu. Aku bingung, ujung jalan ini ternyata bercabang. Kuteruskan saja langkahku. Jalanan ini telah sampai pada ujungnya. Ahh, aku tak menemukannya.
Seorang pengemis perempuan menggendong anaknya. Wajahnya kusam, pakaiannya lusuh. Di ujung jalan, di bawah tiang listrik, tangannya menengadah pertanda meminta belas kasihan di saat aku melintas di depannya. Aku menghampirinya. “Barang kali kita bernasib sama, wahai perempuan. Engkau belum menemukan rezekimu, dan aku belum menemukan orang yang kucari,” gumamku lirih di depannya. “eihh...? enta ulta li eihh??” perempuan itu bertanya tak mengerti. Aku hanya tersenyum. Kuulurkan tiga lembar uang yang ku ambil dari balik kantong celana kepadanya. “Robbuna yusahhil, robbuna yunajjihak...”. Aku berlalu dari hadapannya. Satu, dua, lima, hingga belasan langkah kutinggalkan dirinya. Langkahku terhenti. Kubalikkan badan, lalu berlari menuju ke arahnya. Ia ketakutan, menyembunyikan wajahnya dariku, menutupnya dengan anak yang digendongnya. Seakan tak rela jika uang yang telah kuberika akan kuminta kembali. “Aku hanya ingin bertanya kepadamu, wahai perempuan.” Ia mulai berani membuka wajahnya. “Apa engkau melihat seorang gadis Indonesia berpakaian hijau muda, berkerudung putih panjang, melintasi jalan ini seminggu yang lalu?” tanyaku. Ia hanya menggelengkan kepala tanda tak tahu.
Ohh, gila. Betapa bodohnya aku. Ya, aku memang telah gila. Bagaimana mungkin aku bertanya kepadanya tentang orang yang melintas di depannya seminggu yang lalu? Berapa banyak orang yang melintasi jalan ini dalam seminggu? Ia tak mungkin mengingatnya. “Barangkali engkau juga menganggapku gila, perempuan,” ucapku sambil berlalu.
***
Malam sebentar lagi menghadirkan pagi. Mataku belum juga terpejam. Hari-hari yang kulalui selalu menghadirkan bayangan perempuan itu. Wajahku menengadah ke langit-langit kamar. Ada wajahnya di balik pijaran cahaya neon. Aku membenamkan mataku. Senyuman itu tampak jelas dalam pekatnya kegelapan. Aku dihantui bayang-bayang, aku dihinggapi kegilaan. Aku terbayang... TIDAAKK...
Burung-burung berkicau bersautan, angin sepoi-sepoi menyeruakkan bunyi dedaunan, sinar mentari pagi masuk menerobos bilik-bilik jendela kamar. Suara mesin-mesin kendaraan di seberang jalan terdengar begitu sombong menertawakanku. Dalam kebisingan, aku merasa bagai di rimba tak bertuan. Sepi dan hampa. Aku begitu muak dengan keadaanku sendiri. Mengurung diri dalam kamar, menghabiskan berbatang-batang ‘Cleopatra’ dengan selingan secangkir teh kental agak pahit, sesekali menengok isi dapur. Ahh, mengapa kebebasanku harus terkekang oleh penjara yang seolah kubuat olehku sendiri? Bagai seorang pendekar yang turun gunung, aku keluar dari kamar yang lebih tepat disebut sarang. Putung rokok yang berserakan, pakaian-pakaian lusuh yang berjubel di dalam lemari, kertas-kertas bekas yang berceceran di atas meja, kutinggalkan begitu saja. Aku tak mengerti harus kemana. Kuikuti saja langkahku.
Ohh kupu-kupu, mengapa engkau menampakkan diri di depanku, di saat diriku sedang gila? keindahan dan keelokanmu mengingatkanku akan dirinya. Dirinya yang pergi. Juga yang tak kutemui. Eloknya terbangmu seindah langkahnya ketika berjalan. Tertunduk dan malu. Lebar sayapmu adalah kerudung panjang yang membungkus tubuhnya. Bunga-bunga wangi yang kau hinggapi adalah tempat-tempat suci yang selalu ia singgahi. Lembut suaramu adalah ayat-ayat suci yang selalu terucap dari mulutnya. Engkau lembut, seperti dirinya. Engkau elok, seperti dirinya.
Aku terdiam di pinggir trotoar. Mencari cela di antara rentetan mobil-mobil yang melaju bagai kilat. Mungkin sang sopir sedang kalap.
Di seberang jalan itu...Ohh dia. Benarkah dia?
Aku tertegun. Duhai kupu-kupu. Apakah dirimu sekarang menjelma menjadi dirinya? mungkinkah dia bidadari kiriman Tuhan yang dikirimkan untuk mengodaku? Tidak, dia manusia biasa sepertiku. Ya aku yakin, dia adalah gadis yang kulihat waktu itu. Aku harus menemuinya. Persis seperti.....
“Laila....” teriakku keras. Aku masih berada di tegah-tengah aspal ketika sebuah bis membawanya pergi. “Aaaahhhh..” aku berteriak bagai orang gila. Aku kecewa kehilangan dirinya lagi. Lesu kepalaku tertunduk.
Ahh, mengapa kusebut nama itu? Tidak. Aku belum mengenalnya. Aku baru tersadar.
“Kenapa engkau anak muda?,” seorang bapak tua bertanya heran melihat tingkahku.
“Engkau mengenal gadis yang berdiri di sini tadi?”
“Dia bukan Laila. Namanya Nisa.”
Aku heran.
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Tentu. Dia adalah calon istri dari muridku, orang Indonesia sepertimu.”
“Apa? dia akan menikah?”
“Ya. Rusydi telah melamarnya. Minggu depan mereka akan menikah. Nisa gadis yang baik, pandai, dan santun. Tadi ia mengundangku.”
Aku hanya bisu mendengar kata-katanya. Lidahku terasa kelu. Aku masih ragu, inikah episode baru yang dimainkan oleh Sang Maha Kuasa untukku?
Laila...sudah lama engkau meninggalkanku. Tiga tahun yang lalu. Di saat masa-masa bahagia kita, ketika aku melamarmu. Seperti mereka sekarang. Bedanya engkau pergi mendahuluiku. Semula kukira dirinya adalah jelmaan dirimu, yang menggantikanmu untukku. Apa kabarmu kini di sana? Sudah lama tak kusapa dirimu. Ini, kuhadiahkan tiga kali Fatihah untukmu. Semoga engkau berkenan menerimanya. Engkau hidup di dalam hatiku. Izinkan aku menitipkan rinduku untukmu, kepada orang yang berhati bidadari seperti dirimu.- Tamat -

(Rumah rakyat Madjapahit, Kairo, 7 Maret 2007)
Untuk seorang bidadari yang kukagumi kehadirannya. Walaupun tak kumiliki, tetaplah engkau suci.

*Anak Rantau Poelaoe Biroe.



No comments:

Post a Comment