Pages

Dinamika Masisir

Tuesday, March 13, 2007

Telepon dan Efektifitas Organisasi

Dunia Masisir selalu saja menimbulkan berbagai kesan bagi setiap kita, dinilai dari sudut pandang masing-masing. Dalam perjalanannya, Masisir sebagai cerminan dari masyarakat (miniatur) Indonesia telah berhasil mewarnai dinamika kemahasiswaan kita dengan “plus dan minus” nya. Adalah wajar, bila seseorang lebih cenderung mengomentari suatu hal dari segi minus (negatif) nya dari pada sisi positifnya. Karena suatu hal positif adalah hal yang sudah selaknya dilakukan oleh setiap orang, dan pada akhirnya hal tersebut menjadi kebiasaan. Maka orang tidak akan berkomentar terhadap kebiasaan itu. Akan tetapi jika kebiasaan itu tiba-tiba berbalik menjadi ketidakbiasaan atau bahkan menjelma dari prilaku positif menjadi negatif, maka sudah dapat dipastikan akan muncul berbagai komentar, omongan, bahkan kritikan. Ibarat seorang kiyai
orang akan melihat sebagai hal yang sangat wajar jika ia rajin pergi ke masjid, berjamaah, mengaji dan sebagainya. Lain halnya apabila ia melakukan hal yang tidak wajar baginya sebagai seorang kiyai, berjudi misalnya. Maka seluruh orang akan berkomentar tentang dia. “Anjing menggigit orang itu bukan berita. Orang menggigit anjing itulah berita”, istilah jurnalistiknya. Kembali ke Masisir, penulis merasa tertarik untuk mengomentari dinamika Masisir akhir-akhir ini.
Akhir-akhir ini Masisir disibukkan dengan seabreg rutinitas keorganisasian dan kepanitiaan pasca berakhirnya ujian termin pertama lalu. Keadaan ini berbarengan dengan jatuh temponya pembayaran tagihan telpon yang umumnya diadakan triwulanan oleh pihak Almasry lil-ettasalat. Setiap pengguna layanan ini harus membayar tagihannya jika sudah tiba waktunya. Seharusnya demikian. Namun bagaimana dengan Masisir yang juga termasuk sebagai pengguna jasa telepon? Penulis adalah salah satu dari tipe mahasiswa yang tidak betah mengurung diri di rumah, memilih untuk aktif di beberapa organisasi dan kepanitiaan. Sedikit banyak penulis mengerti dan merasakan perkembangan yang ada dalam dunia Masisir. Masalah telepon adalah salah satunya. Suatu saat penulis menghubungi berberapa orang teman melalui telepon untuk menghadiri rapat penting. Dari tiga nomer yang penulis hubungi, semuanya ternyata berbunyi sama; “Telepon yang anda hubungi sedang dinonaktifkan sementara. Silakan hubungi kembali beberapa saat lagi.” Jawaban yang sangat mengecewakan tentunya untuk hal sepenting itu. Saya lalu merenung, mencoba mencari-cari penyebab hal ini bisa terjadi. Keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi jika si pengguna telepon bertanggung jawab membayar tagihan. Lalu saya teringat suatu hal yang biasa kita sebut ‘ngeces’ dikalangan Masisir, alias menelepon lama-lama hingga berjam-jam. Saya maklum. Namanya saja anak muda. Dalam suatu komunitas seperti Masisir, ketertarikan terhadap lawan jenis itu pasti ada. Apalagi kita sadari, kwantitas mahasiswa dalam dunia Masisir lebih banyak dibanding mahasiswi. Dari sekitar lima ribu jumlah Masisir saat ini, jumlah itu didominasi oleh pihak mahasiswa. Jika dihitung hitung, perbandingan itu bisa kita perkirakan tiga atau empat banding satu. Nah, dari sisi inilah saya menumukan jawaban. Pernah ada satu ilustrasi, satu orang mahasiswi bisa ditelepon oleh tiga sampai lima orang mahasiswa dalam sehari. Memang, ilustrasi ini terdengar geli ditelinga kita. Dan entah ini benar atau salah, tapi saya pribadi cenderung mengatakan ini sangat mungkin terjadi. Masalah telepon kelihatannya adalah masalah sepele. Namun dipercaya atau tidak, masalah yang kelihatan sepele ini sebenarnya berakibat fatal. Bayangkan jika kita sedang dalam suatu organisasi atau kepanitiaan. Suatu saat kita inigin mengadakan acara yang melibatkan seluruh anggota organisasi tersebut untuk bisa hadir. Atau kita menyebarkan pamflet yang isinya (seperti biasa) mencantumkan nama contact person beserta nomer teleponnya. Ternyata nomor telepon yang digunakan sedang non aktif, atau marfu’ istilah familiarnya dikalangan kita. Bisa dibayangkan, betapa susahnya organisasi tersebut. Tentunya kita akan berfikir dua kali untuk menghubungi masa yang begitu banyak via ponsel, walaupun itu mungkin saja dilakukan. Dan kalaupun mungkin, berapa banyak biaya pulsa yang dikeluarkan hanya untuk menghadirkan masa tersebut? Lagi pula, apakah dengan cara seperti itu sudah efektif? Hal seperti ini sudah pernah terjadi dalam salah satu organisasi kekeluargaan Masisir beberapa waktu lalu, yang berbuntut kepada pembengkakan biaya telepon. Sebagai akibat dari contoh kedua, masa yang sebenarnya ingin mendaftar sebagai peserta acara yang ditawarkan panitia, bisa saja merasa keberatan jika harus menghubungi panitia via ponsel, karena nomer telepon yang digunakan marfu’. Akibatnya, panitia harus kehilangan calon peserta yang ingin mendaftar, sedang waktu pendaftaran telah habis. Kalau sudah begitu siapa yang rugi?
Sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah jika tanggungan telepon itu bisa dilunasi tepat pada temponya. Tetapi hingga saat ini, di saat berbagai kegiatan non kampus sedang marak-maraknya diselenggarakan sebagai tuntutan oraganisasi, nomer telepon di rumah-rumah Masisir masih banyak yang berpredikat ‘marfu`’.Yang menjadi pertanyaan adalah, di mana tanggung jawab para pengguna telepon itu setelah pemakaian? Kalaupun ia bersedia bertanggung jawab untuk membayarnya sesuai lamanya pembicaraan (biasanya dengan cara mencatat), maka yang perlu diperhatikan adalah kepentingan orang lain selain dirinya ketika ia berlama-lama menggunakan telepon. Bisa saja ketika itu orang lain juga sedang dihubungi pihak lain karena kepentingan yang mendadak. Yang lebih perlu digaris bawahi adalah akibat yang ditimbulkan dari kebiasaan buruk ini (ngeces, hingga berakibat pada dicabutnya pemakaian telepon karena tagihan yang belum dibayar) bagi kefektifan dan keaktifan sebuah organisasi atau kepanitiaan. Dengan non aktifnya telepon baik dari pihak yang menghubungi atau yang dihubungi, sudah pasti berakibat pada efektifitas suatu acara. Walaupun akibat itu tidak sampai pada taraf gagalnya acara, minimal akan berakibat pada keterlambatan dari jadwal yang sudah ditetapkan. Dengan kata lain, acara akan terbengkalai gara-gara hal yang dianggap sepele tersebut.
Pada kesimpulannya, urgensitas suatu pembicaraan lah yang seharusnya menjadi takaran panjang pendeknya suatu pembicaraan melalui telepon, bukan murahnya biaya yang dikeluarkan permenitnya. Jika hal pertama itu yang diperhatikan, kemungkinan besar hal-hal diatas tidak akan terjadi. Akan tetapi, jika hal kedua yang menjadi ukuran, maka hasilnya adalah seperti yang sudah kita ketahui, biaya telepon membengkak, tak terbayar, lalu dinonaktifkan, dan kemudian berbuntut pada efektifitas sebuah organisasi. Bukankah perahu yang besar itu bisa tenggelam gara-gara lubang sebesar biji jagung?


No comments:

Post a Comment