Pages

SASTRA

Monday, May 11, 2009

Bendera Hitam
Muarajiwa*

Selendang kuning berukiran bunga itu meliuk-liuk, mengikuti bias gerak elastis jemari yang menggapit ujungnya. Lantunan beberapa gending yang ditopang alun gendang dan gamelan mengalir silih berganti dari tiga sinden yang duduk berjajar. Ada irama sendu, atau nada mistis di telinga siapa saja yang baru mendengarnya. Malam sudah melebihi pertengahan. Tapi pesta baru saja dimulai. Dan perempuan itu masih menari, meliuk-liukkan tubuhnya, mengepakkan selendang dengan tangannya yang gemulai, berselaras dengan irama dan tempo gamelan.
Ia tak sendiri. Dua penari lain bergerak seirama di kiri dan kanannya. Ketiganya mengenakan jarik cokelat, tapi perempuan itu mengenakan kemben merah tua, sementara dua lainnya kuning dan hijau. Dan di sini, para lelaki yang duduk melingkar bersorak riang, memanggil-manggil sebuah nama, sesekali bersiul panjang-pendek seperti tingkah untuk menghadirkan merpati. Perempuan gemulai yang menari di tengah itukah pemilik nama yang disebut-sebut itu? Lalu aku memandanginya. Gurat wajahnya yang dipoles bedak dan make-up tebal merah muda mengisyaratkan usia. Empatpuluhan. Ia wanita matang nan jelita. Aku membayangkan ia lebih tepat menjadi selir atau putri keraton daripada seorang penari. Tarian gemulainya mengundang ketertarikan setiap orang untuk menikmati. Mungkin keindahan, mungkin birahi. Ia hanya tersenyum, ketika orang-orang kembali riuh dengan siul dan teriak “Lasmi, Lasmi...!” Aku benar kawan, dialah pemilik nama itu. Lasmi. Nama yang indah.
Tak ada isyarat atau tanda-tanda apapun. Seperti ada kesepakatan diam di sela talu gendang dan gamelan. Kira-kira 30 menit pesta itu berlangsung, tiga orang laki-laki berdiri dari dalam lingkaran, lalu masuk ke dalam arena tari. Ketiganya berjalan tak tegap. Sempoyongan. Menuju penari kesukaan masing-masing. Lalu ikut menari.
“Kenapa kau tak menatapku, Lasmi?” Lelaki kekar berkumis tebal telah menari di depannya. Pakaiannya serba hitam, kecuali udeng yang berwarna merah di kepalanya.
“Mulutmu bau tuak.” Perempuan itu tetap tak melirik. Wajahnya condong 45 derajat dari tatapan lelaki itu. Ia bukan hanya tak suka baunya, tapi juga gelagat peminumnya yang mulai tak wajar, barangkali.
“Tapi kau seorang penari. Kau penghibur. Dan aku akan membayarmu!” Nada si lelaki meninggi. Sorot matanya yang merah menukik tajam ke wajah Lasmi yang masih mengarah ke sebelah kanan bahunya, lalu ia menggeser kuda-kudanya selangkah ke kanan; agar tatapannya bertemu dengan tatapan Lasmi.
“Aku tak suka bau tuak. Kau boleh ambil uangmu, asal tak mengganggu kenyamananku!”
“Hmm...kau tak nyaman menari denganku, hanya karena bau mulutku ini? Kalau begitu, aku akan meneguk minyak kasturi agar kau bergairah di depanku! Hahaha....”
Melihat gelagat lelaki itu semakin menjadi, Lasmi meluruskan arah wajahnya, membentur wajah si lelaki kumis tebal. Tapi aku tahu, pandangannya tak berada di sana. Ia menatap kosong, seperti pelamun yang menatap awang-awang sebelum tidur.
Ia bukan gentar dengan gertak si lelaki, tapi hanya tak mau kenyamanannya, juga kenyamanan orang-orang dalam pesta itu terkoyak jika lelaki itu berulah lebih jauh. Lalu ritme si lelaki meninggi, seperti api kayu bakar yang disulut minyak jarak. Ia bergerak, mengikuti ke mana saja arah perempuan itu. Matanya liar, menelanjangi seluruh tubuh di depannya, seperti serigala yang mengintai mangsanya. Tiba-tiba talu gamelan berhenti setelah nadanya gaduh, hampir tak beraturan. Kali ini aku menangkap isyarat. Ketiga lelaki itu kemudian mundur dari arena tari, setelah talu gamelan serempak berhenti, dan orang-orang berteriak, “Sawer, sawer...!” Dan lihatlah, kemben-kemben itu adalah kantong kepuasan bagi setiap tangan yang menjamah dengan selip rupiah, juga tabung oksigen bagi nafas sejumput manusia dalam sesaknya lorong kehidupan.

₪₪₪

Tuhan tak pernah kebetulan dengan segala rencana-Nya. Dan dua teori –ataukah keyakinan? karena aku tak begitu peduli dengan ini- tentang garis kehidupan; bahwa manusialah yang menentukan pilihan setiap pekerjaannya –baik atau buruk, dan bahwa segala yang dilakukan manusia adalah dilakukan dengan segala keterpaksaan, seperti bulu angsa yang terbang mengikuti ke mana saja arah angin berhembus, keduanya mungkin juga berlaku pada perkenalanku dengan Lasmi. Aku, pada keyakinan pertama, mamang memilih untuk mengenali jatidiri perempuan itu, di balik profesinya sebagai ledhek itu. Dan pada yang kedua, aku juga meyakini bahwa Tuhan telah menggariskan ketentuan pertemuanku dengannya kali ini. Pada titik inilah, antara pilihanku dan keinginan Tuhan bertemu, karena Tuhan tak akan pernah mempertemukanku dengan perempuan itu kalau Ia tak menginginkan itu.
Inilah kisahku mengapa aku berada di sini dan bertemu Lasmi: Desa ini Sendangsono. Aku orang asing di desa ini; pengecut yang datang dari kegentaran terhadap kebisingan kota, pecundang yang lari dari penjara kejenuhan. Tiga bulan penuh berkutat dengan tugas skripsi, aku memutuskan untuk sejenak lepas dari rutinitas. Dan, tak ada cara yang lebih tepat untuk itu kecuali pulang kampung. Tapi belum lagi kereta yang membawaku sampai di stasiun kota Tawanglangu, stasiun tujuanku, pusat informasi PJKA mengumumkan status darurat. Kereta harus diberhentikan di stasiun kota Landung. Kabar yang sampai di telinga, 237 km dari Landung, puluhan orang berbaju hitam telah siap menyambut kedatangan kereta. Mereka membawa batu, bom molotov, parang, celurit, besi. Orang-orang itu seperti hantu; datang dan pergi kapan saja, dengan alasan apa saja. Mereka menjarah. Mereka mengincar musuh. Mereka merusak. Mereka melampiaskan amarah. Mereka iblis.Pukul 21.45. Aku tak mungkin diam di Landung. Stasiun itu mencekam. Sekawanan preman terlihat mondar-mandir di sekitar gerbong. Di bangku pojok, sekelompok pengamen membentuk komunitasnya sendiri. Mereka anak-anak muda yang mudah terbakar emosi jika permintaannya tak dituruti. Mereka tak kalah mengerikan dengan para preman itu. Aku bertolak tanpa tujuan. Karena di sini, aku buta. Seperti sandera yang disekap lalu dilepas di hutan belantara. Tak mengerti rute atau peta. Malam itu, aku terdampar di Sendangsono berkat sebuah mobil pick-up tua merk Toyota L-300 yang mengangkut jerami pakan sapi. Aku numpang di sana. Lalu turun di sebuah keramaian yang belakangan aku tahu itu adalah Tayub. Aku mendatangi rumah lurah esok harinya, karena aku tahu Tayuban itu digelar atas prakarsanya setelah selamatan bersih desa. Aku bertanya segala hal tentang Lasmi.
“Lasmi hanya seorang janda. Suaminya meninggal setahun lalu. Sejak itu dia menjadi ledhek untuk hidup,” lurah itu setengah berkisah.
“Apakah dia tak punya anak?” aku meragu.
“Punya, Tari namanya. Lestari. Tapi ia tak di rumah. Ia hidup di kota.”
“Jadi, Lasmi hidup sendiri?”
“Ya. Anaknya kuliah di kota dan baru akan pulang minggu depan, tiga hari setelah perayaan Tujuhbelasan.”
“Bapak tahu itu?” aku curiga. Dari mana Lurah tahu informasi sedetail itu tentang Lasmi?
“Tentu saja. Sore kemarin Tari menitip pesan melalui telepon kantor kelurahan. Isinya demikian.”
“Lasmi sudah tahu?”
“Kami belum sempat ke rumahnya. Carik Darwo yang biasa bertugas mengantar surat dan pesan sedang saya tugaskan ke Kecamatan.”
Aku lega. Tapi bertanya-tanya di mana rumahnya. Lalu aku menjelaskan padanya keinginanku bertemu dengan wanita setengah baya itu. Lurah Kartawijaya –begitu ia mengenalkan namanya- menatapku tajam. Seolah ingin mematri raut wajahku kuat-kuat dalam ingatannya. Tatapan itu, adalah sebuah bahasa kecurigaan yang tak terlafalkan. Lihatlah, manusia adalah musuh bagi apa saja yang tidak ia ketahui. Aku ingin menghapusnya. Maka aku mengisahkan padanya tentang keresahanku terhadap Lasmi sejak ia menari di depan lelaki serba hitam malam itu. Lurah Karta masih menatapku. Secarik kartu nama kuulurkan padanya. Bramanta. Fakultas Psikologi-Universitas Kalingga.
Jl. Dharmaputra 15 A-Tawanglangu. Lelaki itu mengangguk-angguk.
“Kalau Bapak tidak keberatan, biar saya yang menyampaikan pesan tersebut kepada Lasmi.”
“Oh, tentu saja tidak. Tapi rumahnya jauh dari kantor kelurahan. 8 kilo. Tentu sangat merepotkan anda.”
"Anggap saja saya sedang ingin berkeliling kampung ini, dan pesan itu hanyalah sebuah titipan yang bisa disampaikan sambil melintas."
"Baiklah, kalau begitu saya tunjukkan rute menuju rumahnya."
Lalu diraihnya selembar kertas, ia gambarkan di atasnya jalan yang mengarah ke utara, berbelok ke kanan tiga kali, lalu ke kiri dua kali.
"Di ujung belokan terakhir, di sanalah rumah Lasmi," Lurah Karta mengakhiri penjelasannya.
"Terimakasih, Pak. Saya segera pamit. Hari sudah menjelang magrib."
“Kalau ada waktu, kami juga mengundangmu untuk datang pada pesta Tujuhbelasan minggu depan.”
“Dengan senang hati.”

₪₪₪

“Apa kau nyaman hidup sendiri seperti ini, Lasmi?” Oh, maaf, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya khawatir keselamatanmu.
“Aku sudah terbiasa sendiri sejak kematian suamiku.”
“Aku tahu itu. Tapi aku belum tahu kenapa suamimu meninggal.”
Lasmi bisu. Seperti berat mengenang masa lalu.
“Dia dibunuh. Dikeroyok lalu dicincang-cincang tubuhnya.” Ia tersedu. “orang-orang itu biadab. Tapi aku tahu mereka kerdil, seperti emprit. Suamiku elang.”
“Siapa orang-orang yang kau maksud?”
“Patisewu. Aliran hitam yang suka berbuat onar. Mereka bergerombol.”
Duh Gusti, apakah mereka orang-orang yang akan membajak kereta itu? Siapa pula lelaki yang menari di depan Lasmi malam tadi?
“Kau tak curiga dengan tigkah lelaki yang bersamamu di Tayuban semalam?” Aku berusaha memuaskan penasaranku.
“Mereka ada di mana-mana. Di pasar, warung kopi, tempat judi, juga Tayub. Mungkin lelaki itu salahsatunya.” Lalu bibirnya mengulum senyum, meskipun pahit. Seperti mengerti kekhawatiranku.
“Mereka tak pernah berulah lebih jauh setelah pesta. Kau tenanglah.”
Aku masih tak nyaman dengan jawaban itu ketika segelas kopi grasak yang dihidangkan untukku tinggal ampas. Etika bertamu membolehkan penamu permisi.
“Baiklah. Aku harus pamit. Oh iya, minggu depan anakmu pulang. Aku membawa pesan ini dari kantor kelurahan.”
Rautnya yang datar mendadak sumringah, lalu berubah ragu. Apa kau benar?
“Kau bisa tanyakan langsung pada Lurah, jika masih ragu.”
Lasmi mengangguk. “Baiklah.”
“Hari sudah larut. Aku permisi. Jaga dirimu baik-baik.”
“Tunggu, tunggu! Siapa namamu?”
“Bram. Bramanta.”

₪₪₪

17 Agustus, 17.35
Akhirnya aku kembali ke Sendangsono. Tapi aku tak beruntung menikmati Tujuhbelasan di sana; tambang telah digulung, kayu pinang telah dirobohkan, karung-karung telah dilipat. Pesta rakyat itu telah usai dua jam lalu. Tetapi balai desa belum lengang. Beberapa orang sibuk merias pendopo yang berlantai tanah itu. Sebagian lain, menenteng perkakas gamelan, lalu menatanya di atas panggung bambu. Lurah Karta menyambut sowanku di kantor kelurahan.
“Selamat datang kembali di desa kami. Tapi kenapa nak Bram datang telat?”
“Nyuwun pangapunten. Saya tidak bisa datang lebih awal, dan baru bisa berangkat dari Tawanglangu selepas dhuhur.”
“Oh, tidak masalah. Nak Bram masih bisa menyaksikan puncak pesta rakyat malam ini di pendopo.” Kemudian Lurah menjelaskan segala sesuatu tentang desa dan perayaan. Dan seperti penjelasannya minggu lalu, Tayub akan kembali digelar. Tetapi kali ini di pendopo desa.

Pukul 22.30. Orang-orang mulai berdatangan. Pria, wanita, tua, muda. Tapi pria dewasa mendominasi. Instrumen gamelan sudah bertalu, meski tanpa lengkingan vokal sinden. Seperti musik pembuka dalam konser aliran musik kontemporer. Di seberang kanan, 30 meter dari pendopo, sejumlah manusia lain bergerombol melingkar. Mereka penggemar kletek, judi dengan kelereng yang digelontarkan di atas papan. Bersama orang-orang yang menyemut, aroma pendopo menjadi tengik. Bau anyir ketan busuk. Mungkin arak atau anggur. Lalu iring-iringan sinden masuk dengan lantun gending. Yen ing tawang ono lintang. Mereka duduk di panggung, di depan penabuh gamelan. Lasmi, di mana dirimu?
Prosesi itu berjalan begitu saja. Pesta itu benar-benar sempurna ketika tiga penari muncul. Orang yang kucari ada di sana. Dan orang-orang menjadi gaduh. Mereka kegirangan. Aku welas asih. Karena Lasmi telah menari. Kembali menari. Tarian itu Tayub, tapi ia bagai menarikan Cakalele. Karena tarinya adalah pemberontakan. Tapi ia bukan gerwani. Ia hanya hendak melawan nasib; kematian suaminya, kesunyiannya, kemiskinannya. Di atas segala getir, perempuan itu masih harus menari, untuk hidup dan menghidupi anaknya.
“Aku ingin tidur bersamamu,” lelaki yang di depan Lasmi mengumbar. Pakaiannya serba hitam. Tapi aku pasti, ia bukan orang yang menari tempo hari.
“Jaga mulutmu!” Lasmi menyentak. Rautnya muram.
“Aku akan membayar lebih kalau kau bersedia!”
“Kau sinting! Aku masih bisa hidup hanya dengan menari! Pikirlah anak-istrimu!”
Lelaki itu murka. Matanya hampir mencelat.
“Lonte! ”
Lasmi geram, tak dapat lagi mengendalikan emosi.
“Asu!”

Lalu penonton meneriakkan sawer. Pertanda penari lelaki harus menyelipkan uang, lalu mundur dan digantikan penari lain. Lelaki itu lalu bergabung dalam lingkaran penonton. Tapi kemudian, kulihat dia meninggalkan pendopo bersama dua orang lain. Mereka serba hitam. Patisewu. Aliran hitam yang suka berbuat onar. Mereka bergerombol. Aku teringat ucapan Lasmi. Apa yang akan mereka lakukan?


₪₪₪

Ketika kudatangi rumahnya setelah pesta, aku terperanjat. Tubuhnya tergantung kaku. Selendang kuning yang dipakainya menari itu terikat pada bambu penyangga atap kamar, membentuk lingkaran dengan ikatan simpul pada ujungnya, sementara kursi randu buatan suaminya ada di bawahnya. Ujung selendang itu menjerat lehernya. Lalu orang-orang datang berkerubung, memuntahkan segala murka pada Lasmi.
"Lihat, lihatlah…ia sangat hina karena mengakhiri hidupnya sendiri!"
"Ya, dan kau tahu ganjaran apa bagi wanita pengecut seperti dia?"
"Kerak neraka! Ya, selamanya di kerak neraka!"
“Tenang, tenang! Turunkan jasadnya, dan mari kita sholatkan!” seorang yang muncul dari kerumunan mencoba menenangkan.
“Lasmi perempuan laknat! Ia tak perlu disholati!” seorang lain menyahut lantang.
“Ya, kuburkan saja di rumahnya. Lalu kibarkan bendera hitam di depannya!"
“Hei, mengapa harus hitam?”
“Agar semua orang tahu dia adalah pendosa! Bendera putih tarlalu suci untuknya. Malaikat dan surga tak akan menerimanya.”
Suara-suara itu tak lagi jelas dari mana asalnya. Melengking, lalu membumbung bersama angin.
“Ya, kibarkan bendera hitam! Agar orang tak datang untuk melayat. Karena dia perempuan laknat.”

Di tengah suara yang melolong-lolong itu, di balik wajahnya yang kini layu, Lasmi masih bercerita. Patisewu. Aliran hitam yang suka berbuat onar. Mereka bergerombol. Mereka tak pernah berulah lebih jauh setelah pesta. Kau tenanglah.
Tapi kali ini mereka benar-benar berbuat lebih jauh, Lasmi!


Kairo, 27 November 2008


*Lelaki sinting dari budayanya terasing






READ MORE