Pages

Kampus Kita

Saturday, August 16, 2008


KONSTRUKSI MANDIRI SGS KITA

Jika anda termasuk orang yang percaya bahwa, berhasil-tidaknya sebuah sistem baru bisa dinilai setelah 5 tahun, maka tahun ini adalah tahun yang tepat untuk memberikan penilaian terhadap SGS yang telah kita terapkan sejak tahun 2003. Dan, setelah 5 tahun, penilaian “pincang” terhadap sistem ini harus kita akui, dengan disepakatinya salah satu butir Lokakarya yang merekomendasikan ditinjau ulangnya SGS yang telah diterapkan selama ini. SGS semacam mendapat tohokan pada acara Lokakarya April lalu, kaitannya dengan hierarki kekuasaan yang masih runyam.
Menurut saya, runyamnya hierarki kekuasaan itu tidak hanya berkutat pada tiga lembaga yang terdapat pada pola SGS kita; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lebih dari itu, secara umum Sistem Pemerintahan Mahasiswa (Student Government System) kita belum kokoh, bahkan bisa dikatakan ruwet dan serabutan, di dalamnya terdapat permasalahan-permasalahan kompleks untuk bisa dikatakan sebagai sebuah sistem yang rapi dan ideal. Ruwetnya SGS kita ini, sudah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa sistem yang kita terapkan adalah sebuah sistem hierarkis-anarkis. Ini karena, kita masih harus membandingkan standar ideal SGS yang kita anut ini dengan akarnya. Bagaimanapun, SGS kita adalah sebuah adapsi –jika tidak boleh disebut adopsi- dari sistem yang sudah berlaku di berbagai universitas dalam negeri pada umumnya.
Mengapa ruwet, mengapa anarkis? Karena pada dasarnya SGS itu simpel. Secara struktural, SGS dapat kita gambarkan dengan ringkas seperti ini: Rektorat – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU) – Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) atau yang dahulu disebut SEMA Fakultas – dan Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEMJ). Dari sini jelas, garis koordinasi yang menghubungkan antar badan secara hierarkis adalah garis akademis (senat), bukan daerah, afiliatif, apalagi partai. Tanpa perlu menyebutkan satu persatu, indikasi betapa kompleks dan ruwetnya SGS kita, dapat kita runut dari bagian terpenting sistem ini sebagai sampel; senat. Pertama, jika disepakati bahwa yang kita terapkan adalah SGS, maka Senat Mahasiswa Fakultas semestinya juga harus dirubah menjadi BEMF, karena kita mempunyai presiden. Tapi tunggu dulu, jika kita sepakat mempunyai presiden dalam SGS kita, di mana letak BEMU yang seharusnya diketuai oleh presiden itu? Siapa yang kita sebut presiden?
Kedua, senat yang secara struktural seharusnya berada di bawah BEMU kalah pamor dengan organisasi kedaerahan bahkan afiliatif yang memang terlebih dahulu telah ada jauh sebelum SGS diterapkan. Padalah, organisasi kedaerahan, walaupun ada, seharusnya tak boleh mendapat ruang sedikitpun dalam struktur SGS, karena organisasi ini hanyalah organisasi ekstrakurikuler kampus. Inilah mengapa saya katakan anarkis. Organisasi yang seharusnya samasekali tidak mendapat tempat dalam struktur SGS, di sini malah menggeser dan menghegemoni posisi senat. Padahal, jika kita asumsikan posisi presiden adalah pemerintahan pusat, maka pemerintahan daerah atau provinsinya adalah senat, bukan organisasi kedaerahan. Ketiga, kaitannya dengan poin di atas, senat yang seharusnya menjadi mata rantai penghubung antar struktur dalam Sistem Pemerintahan Mahasiwa, malah menjadi sebuah ekosistem yang kembang-kempis; kadang hidup kadang mati. Takaran hidup-matinya pun menjadi sangat sempit, sebatas pada penyebaran talkhisan yang bisa jadi meimbulkan pembodohan massal.
Kompleksnya permasalahan struktural SGS kita, jika dirunut, akan bermuara pada satu titik yaitu; sistem yang kita terapkan pada pola berorganisasi kita ini sama sekali tidak mengafiliasi ke kampus. Dengan kata lain, organisasi kita sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan kampus (al-Azhar) secara hierarkis, padahal posisi kampus dalam struktur SGS adalah posisi teratas sebagai rekrorat. Jadi, penerapan SGS dalam pola organisasi kemahasiswaan kita di sini bisa dikatakan sebagai sebuah pemaksaan sistem. Lalu, apakah sistem yang sudah terlanjur kita terapkan ini perlu diganti? Menurut saya tidak, tapi kita perlu merekonstruksi SGS dengan corak dan warna sendiri, dengan catatan, ruh "kemahasiswaan" dalam Sistem Pemerintahan Mahasiswa harus dipertahankan. Satu-satunya jalan adalah dengan mereposisi senat dalam struktur SGS kita itu. Karena dengan hanya mempertahankan sistem yang ada sekarang saja, kita sudah bisa mengatakan SGS kita sudah mempunyai corak dan warna sendiri, yaitu SGS yang serabutan.
Namun demikian, betapapun ruwetnya SGS kita, bukan berarti sistem ini tidak mempunyai hasil. SGS minimal telah ikut mencerdaskan mahasiswa dengan memberikan asupan positif tentang sistem politik demokrasi yang telah sejak dini dimulai dari lingkup kampus (Masisir), yang dengan demikian akan membuka mata terhadap skala yang lebih besar; skala bangsa.
Memang, SGS yang sebagaimana mestinya tidak bisa seluruhnya diterapkan pada pola organinsasi kita di sini. Penerapan sistem itu secara utuh dan terpadu dalam iklim organisasi kita adalah hal yang tak akan pernah terjadi. Tetapi setidaknya posisi senat harus ditegaskan. Karena bagaimanapun, SGS tanpa senat adalah omong kosong. Mengusung SGS tetapi melupakan eksistensi senat adalah sama tololnya dengan membangun kamarmandi tanpa toilet.
Rekonstruksi SGS agar seirama dengan budaya akademis mahasiswa melalui garis kefakultasan inilah yang menurut saya lebih tepat dimaksud dengan "ditinjau ulang". Tanpa hal ini, jangan harap perubahan signifikan pada peningkatan prestasi mahasiswa yang diidam-idamkan itu dapat terjadi. Inilah bentuk minimal konstruksi mandiri SGS yang harus kita bangun, walaupun sebenarnya juga masih compang-camping.
Jika anda bertanya kapan waktu yang tepat untuk memulai perubahan itu, maka sekaranglah waktunya, saat pesta demokrasi Masisir selangkah lagi dimulai.

READ MORE