Pages

Puisi

Friday, September 19, 2008


Oi...!
Puisi Muarajiwa*

Oi…Oi…!
Orang Indonesia!
Lihatlah, lihat
Negerimu sedang berpesta
Di panggung sandiwara merdeka
Di puing-puing proklamasi

Oi…Oi…!
Orang Indonesia!
Bangunlah, bangun
Pancasilamu ditunggang hantu
Ambisi untuk menguasai
Kepentingan untuk menjatuhkan

Oi…Oi…!
Orang Indonesia!
Rapatkan barisan, rapatkan
Tutuplah ruang bagi politik hitam
Bungkam juga mulut pembangkang
Perongrong Pancasila yang mapan

Oi…Oi…!
Orang Indonesia!
Sadarlah, sadar
Negerimu bukan etnis
Negerimu bukan golongan
Negerimu dari Sabang sampai Merauke

Oi…Oi…!
Orang Indonesia!
Bersatulah, bersatu
Bendera kita masih sama
Merah Putih
Lagu kita masih sama
Indonesia Raya



READ MORE

Kampus Kita

Saturday, August 16, 2008


KONSTRUKSI MANDIRI SGS KITA

Jika anda termasuk orang yang percaya bahwa, berhasil-tidaknya sebuah sistem baru bisa dinilai setelah 5 tahun, maka tahun ini adalah tahun yang tepat untuk memberikan penilaian terhadap SGS yang telah kita terapkan sejak tahun 2003. Dan, setelah 5 tahun, penilaian “pincang” terhadap sistem ini harus kita akui, dengan disepakatinya salah satu butir Lokakarya yang merekomendasikan ditinjau ulangnya SGS yang telah diterapkan selama ini. SGS semacam mendapat tohokan pada acara Lokakarya April lalu, kaitannya dengan hierarki kekuasaan yang masih runyam.
Menurut saya, runyamnya hierarki kekuasaan itu tidak hanya berkutat pada tiga lembaga yang terdapat pada pola SGS kita; eksekutif, legislatif dan yudikatif. Lebih dari itu, secara umum Sistem Pemerintahan Mahasiswa (Student Government System) kita belum kokoh, bahkan bisa dikatakan ruwet dan serabutan, di dalamnya terdapat permasalahan-permasalahan kompleks untuk bisa dikatakan sebagai sebuah sistem yang rapi dan ideal. Ruwetnya SGS kita ini, sudah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa sistem yang kita terapkan adalah sebuah sistem hierarkis-anarkis. Ini karena, kita masih harus membandingkan standar ideal SGS yang kita anut ini dengan akarnya. Bagaimanapun, SGS kita adalah sebuah adapsi –jika tidak boleh disebut adopsi- dari sistem yang sudah berlaku di berbagai universitas dalam negeri pada umumnya.
Mengapa ruwet, mengapa anarkis? Karena pada dasarnya SGS itu simpel. Secara struktural, SGS dapat kita gambarkan dengan ringkas seperti ini: Rektorat – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU) – Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) atau yang dahulu disebut SEMA Fakultas – dan Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEMJ). Dari sini jelas, garis koordinasi yang menghubungkan antar badan secara hierarkis adalah garis akademis (senat), bukan daerah, afiliatif, apalagi partai. Tanpa perlu menyebutkan satu persatu, indikasi betapa kompleks dan ruwetnya SGS kita, dapat kita runut dari bagian terpenting sistem ini sebagai sampel; senat. Pertama, jika disepakati bahwa yang kita terapkan adalah SGS, maka Senat Mahasiswa Fakultas semestinya juga harus dirubah menjadi BEMF, karena kita mempunyai presiden. Tapi tunggu dulu, jika kita sepakat mempunyai presiden dalam SGS kita, di mana letak BEMU yang seharusnya diketuai oleh presiden itu? Siapa yang kita sebut presiden?
Kedua, senat yang secara struktural seharusnya berada di bawah BEMU kalah pamor dengan organisasi kedaerahan bahkan afiliatif yang memang terlebih dahulu telah ada jauh sebelum SGS diterapkan. Padalah, organisasi kedaerahan, walaupun ada, seharusnya tak boleh mendapat ruang sedikitpun dalam struktur SGS, karena organisasi ini hanyalah organisasi ekstrakurikuler kampus. Inilah mengapa saya katakan anarkis. Organisasi yang seharusnya samasekali tidak mendapat tempat dalam struktur SGS, di sini malah menggeser dan menghegemoni posisi senat. Padahal, jika kita asumsikan posisi presiden adalah pemerintahan pusat, maka pemerintahan daerah atau provinsinya adalah senat, bukan organisasi kedaerahan. Ketiga, kaitannya dengan poin di atas, senat yang seharusnya menjadi mata rantai penghubung antar struktur dalam Sistem Pemerintahan Mahasiwa, malah menjadi sebuah ekosistem yang kembang-kempis; kadang hidup kadang mati. Takaran hidup-matinya pun menjadi sangat sempit, sebatas pada penyebaran talkhisan yang bisa jadi meimbulkan pembodohan massal.
Kompleksnya permasalahan struktural SGS kita, jika dirunut, akan bermuara pada satu titik yaitu; sistem yang kita terapkan pada pola berorganisasi kita ini sama sekali tidak mengafiliasi ke kampus. Dengan kata lain, organisasi kita sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan kampus (al-Azhar) secara hierarkis, padahal posisi kampus dalam struktur SGS adalah posisi teratas sebagai rekrorat. Jadi, penerapan SGS dalam pola organisasi kemahasiswaan kita di sini bisa dikatakan sebagai sebuah pemaksaan sistem. Lalu, apakah sistem yang sudah terlanjur kita terapkan ini perlu diganti? Menurut saya tidak, tapi kita perlu merekonstruksi SGS dengan corak dan warna sendiri, dengan catatan, ruh "kemahasiswaan" dalam Sistem Pemerintahan Mahasiswa harus dipertahankan. Satu-satunya jalan adalah dengan mereposisi senat dalam struktur SGS kita itu. Karena dengan hanya mempertahankan sistem yang ada sekarang saja, kita sudah bisa mengatakan SGS kita sudah mempunyai corak dan warna sendiri, yaitu SGS yang serabutan.
Namun demikian, betapapun ruwetnya SGS kita, bukan berarti sistem ini tidak mempunyai hasil. SGS minimal telah ikut mencerdaskan mahasiswa dengan memberikan asupan positif tentang sistem politik demokrasi yang telah sejak dini dimulai dari lingkup kampus (Masisir), yang dengan demikian akan membuka mata terhadap skala yang lebih besar; skala bangsa.
Memang, SGS yang sebagaimana mestinya tidak bisa seluruhnya diterapkan pada pola organinsasi kita di sini. Penerapan sistem itu secara utuh dan terpadu dalam iklim organisasi kita adalah hal yang tak akan pernah terjadi. Tetapi setidaknya posisi senat harus ditegaskan. Karena bagaimanapun, SGS tanpa senat adalah omong kosong. Mengusung SGS tetapi melupakan eksistensi senat adalah sama tololnya dengan membangun kamarmandi tanpa toilet.
Rekonstruksi SGS agar seirama dengan budaya akademis mahasiswa melalui garis kefakultasan inilah yang menurut saya lebih tepat dimaksud dengan "ditinjau ulang". Tanpa hal ini, jangan harap perubahan signifikan pada peningkatan prestasi mahasiswa yang diidam-idamkan itu dapat terjadi. Inilah bentuk minimal konstruksi mandiri SGS yang harus kita bangun, walaupun sebenarnya juga masih compang-camping.
Jika anda bertanya kapan waktu yang tepat untuk memulai perubahan itu, maka sekaranglah waktunya, saat pesta demokrasi Masisir selangkah lagi dimulai.

READ MORE

SASTRA

Monday, July 14, 2008


KISI-KISI API
Oleh Muarajiwa*

Ruang Tengah, Terhenyak

Hembusan udara tak sejuk. Sebentuk kepak sayap naga api mengitari kota gersang. Dengusnya gerah. Lidah runcing menjulur-julur merah. Nafasnya sayup, tapi sengat. Naga terus bercokol di langit kota ini, merenta tua. Empat bulan, atau lebih. Ular menyiluet bulan itu baru akan beranjak Oktober nanti, atau November. Setelahnya, hawa neraka tak lagi meraja buta.
Aku termangu di sudut fentilasi. Mengintip langit.
-Bagaima kabar langit? Masihkah biru?- Azura menodong tiba-tiba. Ia baru saja terjaga dari kursi panjang berukiran lengkung, tempatnya merebah semalam.
-Langit tak lagi biru. Ia ungu,- singkat jawabku. -Bagaimana bisa?- Azura mengulang tanya. Seperti kuduga, pertanyaannya akan menggelontar begitu saja, persis gulungan solasi di lantai licin. -Begitulah keadaannya. Kau benar-benar ingin tahu?- tanyaku ragu. –Ya,- tegasnya. Aku tak pernah menyana, ia akan sedemikian tertarik mengejar kata-kataku yang biasanya hanya imajinasi-imajinasi liar. Tentang hidup, tentang cita-cita, mimpi-mimpi yang belum sempat terbeli.
-Karena aku sedang mabuk,- jawabku. -Ah, jadi karena itu matamu tak lagi waras? Tak lagi jelas melihat warna, hah?- Azura menggerutu. Aku tak sedang mabuk seperti yang kau pikirkan. Aku tak sedang mabuk arak. Aku hanya mabuk cinta! Haha...- Aku melihat rautnya murka mendengar kelakarku. Aku lalu menggiring kata-kata. Menembus dimensi waktu. Azura antusias, belingsatan di sudut jengkelnya. -Aku dengar, di kota sana akan ada pameran buku. Kau tak tertarik mengunjungi?- Cuaca sangat panas. 38 derajat. Kau tak ingin kulit kepalamu terpanggang bukan?- Azura berat.
-Hey, hey... cuaca memang membara. Langit memang sedang murka. Tentu kau tak mau disebut pengecut hanya karena bakaran cuaca, bukan? Ingat, kau dan aku juga pernah punya bara. Mendidih!- -Sudah, sudah... jangan kau teruskan celotehmu itu. Aku juga masih belum pikun! Cepat kau bilang, ke mana kita akan pergi?- Azura merajuk. -Ke Husein. Belakang kampus,- jawabku ringkas. -Apa kau bilang? Husein? Belakang kampus?- Aku hanya tersenyum simpul. Tanda setuju. -Ah, kau tak perlu susah-susah berceloteh kalau hanya untuk mengajakku ke tempat itu. Kau tahu, tanpa kau paksapun aku sudah terlalu akrab dengan tempat kumuh itu!- Azura berlalu. Mandi.
***

Bis Kota, Termenung

Laju bis kota menyiput. Mengantar siapa saja ke mana saja dengan tujuan apa saja. Pengasong, pengemis, polisi, politisi, pencopet, pencuri, guru, dosen, pelancong, bahkan anak menteri. Mana pencuri mana polisi, mana pencopet mana anak menteri, aku tak pasti. Kabarnya, banyak polisi bertampang pencuri tersebar di kota ini. Intel, katanya. Bahkan, kabar yang kubaca dari koran kota ini menyebutkan banyak anak menteri yang tertangkap karena mencuri. Mereka keranjingan ganja.
Pandangku mengedar kosong, tak searah dengan pikirku. Azura membeku. -Apakah benci selamanya dikatakan absurd?- Aku memulai kata-kata. -Akan lebih selamat jika kau menggunakan kata iri. Bukan benci,- Azura bijak. -Keduanya hampir tak beda,- kilahku. -Kebencian apa yang kau maksud? Aku termangu. Seperti kehabisan kata-kata. Entahlah...- dadaku hanya sering bergemuruh mendengar kata... karya,- kataku lalu. Terlalu naif jika kau katakan itu sebagai benci. Itu hanya iri. Artinya, kau masih memiliki kekuatanmu. Jadi menurutmu itu bukan absurd?- -Tidak, itu wajar. Bukan hanya kau. Aku juga. Bukankah kau bilang kalau aku juga pernah punya bara? Dan imaji-imaji lalu berkelebat dalam pikiran masing-masing. Bisu. Liar.
***

Kios si Tua, Takjub

Si tua itu bernama Emad. Bapakku yang menamai, ceritanya tanpa kuminta ketika aku berkenalan dengannya. Bapaknya berharap kelak ia menjadi orang yang dapat diandalkan. Menjadi sang teguh di antara ratusan bahkan ribuan rapuh. Emad adalah tiang. Dan tiang adalah simbol teguh. Persis seperti namanya. Karena nama adalah doa. Si tua itu telah benar-benar tua. Aku menangkapnya dari jabat tangannya. Tapaknya empuk, kulitnya lunak berkeriput. Kening dan pipinya juga sudah berkerut. Ia duduk di atas kursi, tepat di belakang etalase buku-buku bekas yang menjadi dagangannya. Tangan kanannya menggengam buku. Tangan kirinya menumpu dagu, sesekali membenarkan kacamata. Sesekali juga melihat ke arah pengunjung kiosnya. -Kau suka sastra?- tanyaku. Karena aku melihat buku yang sedang ia baca. Qashr Syawq, karya Nagib Mahfoudz. Ya. Aku suka Nagib Mahfoudz,- jawabnya.- Aku juga suka. Aku baca Karnak Kafe-nya. Atau Awlad Haratina. -Oh ya? Kenapa suka?- kejarnya. Karena aku juga suka sisha, seperti dia. He...tidak, tidak...aku cuma canda. Aku menikmati tulisannya. Itu saja.- Tapi aku tak suka Nawwal, timpalnya. -Kenapa?- Karena dia wanita. Dan aku pria.- Jadi kau lebih memilih bersikap diskriminatif?- -Oh, bukan itu. Justru karena menurutku dia berlebihan dengan kodrat wanitanya. Begitu? tanyaku sambil menyedorkan sebungkus Cleopatra. Ia mengambil satu. -Ya,- jawabnya lalu. Azura di sudut kiri sana. Bercengkrama. Bagus-bagus, Ra, katanya. My Name is Rednya Orhan Pamuk. Zainabnya Haekal, Laila Majnunnya Nidzami, Azura menyebut satu-satu. Oia, namaku Muara. Dipanggil Ara. Panggilan kesukaan kekasihku. Tapi aku tak memanggil Azura “Ra”, seperti ia memanggilku. Aku menyebutnya Zur. Zura.
Kembali ke si tua. Menurut Zura, kios si tua sudah berdiri lama. Warisan bapaknya. Bukan hanya kios warisan bapaknya. Tapi juga gemar membacanya. Zura sudah lama mengenalnya. -Mengapa kau memilih menjaga kios? mengapa tak kau serahkan anak-anakmu saja?- tanya Zura setengah ragu. -Aku tak betah duduk di rumah. Aku lebih betah di sini. Karena di sini, hidupku juga berguna untuk orang lain. Aku suka orang seperti kalian. Bukan karena kalian membeli buku-bukuku. Tapi karena kalian menyukai buku,- jawab si tua. Zura sudah bersamaku, di depan si tua. Menenteng buku-buku. -Anak-anakmu?- Aku menambah tanya. -Tiga orang. Satu kerja di Kuwait, satu doktoral di Prancis, dan satu lagi perempuan masih di Ain Syams, si tua sambil menunjukkan satu persatu foto anaknya. -Dan kau sendiri?- aku penasaran. Aku hanya pensiunan dosen di Sastra Ain Syams. 1988. Aku bisu. Azura dungu. Karena Takjub.
***

RM. Barokah, Membara

-Pelajaran apa yang kau ambil dari si tua?- Azura sambil mengicip strup soda. Aku memilih es kopi susu. Cocok dengan Dji Sam Soe. -Aku masih terlalu kerdil di depan si tua, jawabku tak mengena.- -Lalu apa? -Lalu... masih banyak yang dapat kita lakukan sebelum menjadi tua, seperti si tua.- Satu hal yang belum kau tahu,- Azura seperti memancing. Kau tahu apa itu?- lanjutnya. Aku menggeleng. -Kau tak perlu terburu-buru membenci kata apapun. Karena si tua, tak menjadi si tua yang dosen sastra tanpa proses,- Azura sambil menyesap sebatang Gudang Garam. Ia tak sama denganku, yang lebih gemar Sam Soe. -Tapi, kau masih boleh membiarkan dadamu bergemuruh. Karena itu adalah api, yang berkobar di jiwamu. Agar jiwamu tak lagi hitam, seperti langit itu. Aku tak suka langit hitam. Menggantung tertutup awan, panjangnya. Aku patung. O, si tua. Sontak menyulut bara. O, jiwa.◙

*Anggota Sanggar Sastra Nusantara

READ MORE

Nasional

Friday, April 11, 2008


SINDROM POSTREFORMASI

Peralihan tiap kekuasaan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, dari zaman kerajaan hingga kini, selalu ditandai dengan darah. Sejarah kerajaan nusantara tak luput dari catatan “tinta merah” pada setiap peralihan dari satu kekuasan menuju kekuasaan lainnya. Kediri di bawah Kertajaya, dimakar oleh Ken Arok di bawah panji Singosari. Demak berhasil menumbangkan Majapahit dan mengganti sendi-sendi pemerintahan dengan panji-panji Islam. Di era yang lebih modern, Orde Lama dengan jargon Revolusi dibawah kepemimpinan Soekarno, harus bertanggung jawab atas “tumbal” Revolusi G.30S yang didalangi oleh PKI menjelang bergulirnya Orde Baru. Selanjutnya, tumbangnya Orde Baru harus dibayar mahal dengan nyawa beberapa mahasiswa yang melayang akibat konfrontasi dengan aparat pada tragedi Trisakti. Apa yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah keinginan akan terwujudnya perubahan dalam tatanan pemerintahan. Jadilah era baru, Reformasi. Pada Orde yang paling baru inilah rakyat menumpukan harapan; perubahan dari tatanan pemerintahan yang eksklusif menuju yang lebih terbuka, dari diktator menuju demokrartis dan menghargai kebebasan. Reformasi yang oleh Habibie ketika menjabat Presiden ke-III RI dijabarkan dengan diberikannya kebebasan pers, kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat dan bahkan kebebasan berdemonstrasi guna mempercepat proses transformasi demokrasi dinilai telah berhasil. Inilah apa yang dikehendaki oleh Habibie sebagai “Kedaulatan Rakyat,” kekuasaan tertinggi adalah milik rakyat. Sejak saat itu, euforia kebebasan begitu terasa di segala lini kehidupan; politik, ideologi, agama, bahkan gaya hidup. Padahal, hal-hal inilah yang berusaha dipasung oleh Orde Lama pada masanya.

Setelah sepuluh tahun, angin Reformasi dirasa semakin “meninabobokan”. Akibatnya, batasan-batasan kebebasan menjadi gamang, tak lagi jelas. Salah satu akibat terfatal dari euforia kebebasan yang dimaknai secara membabibuta ini adalah dekadensi moralitas bangsa. Beberapa perangkat sosial dan politik turut bertanggung jawab atas hal ini. Kebebasan pers yang dahulu digagas untuk mendukung proses Reformasi, melonjak menjadi biang keladi maraknya pornografi, pornoaksi, selain pengaruh media lain. Dalih kebebasan berekspresi menjadi senjata utama untuk melegalkan segala bentuk moralitas tak manusiawi yang semakin mengekosistem; budaya gelamour, individualis, hedonis, anarkis, bahkan anti-sosialis. Singkatnya, harga mahal yang harus dibayar oleh Reformasi adalah hilangnya ruh Indonesia sebagai bangsa Timur dalam hal moralitas!

Dalam kancah politik, dunia perpolitikan yang pada Orba dimonopoli oleh Keluarga Besar Golkar (Partai Golkar, ABRI, dan Korpri) pada Orde paling baru ini menunjukkan kesumatnya. Bursa pencalonan peserta pemilu 2009 mencatat sekitar 80 partai yang mendaftar. Apakah membuncahnya populasi jumlah partai ini merupakan indikasi yang lebih baik bagi stabilitas nasional bangsa Indonesia? Tidak juga. Politik “tak sehat” yang dipelihara oleh Orde Baru berganti kemasan menjadi “penyakit-penyakit” lain. Atmosfir Indonesia penuh sesak oleh hawa kepentingan demi kekuasaan, sehingga terbentuklah apa yang disebut sebagai masyarakat semi anarkis; pilitik uang, politik kotor. Kampanye partai pakai uang, kampanye jadi Lurah pakai uang, bahkan demonstrasi yang katanya demi menegakkan hak pun harus dipolitisasi dengan uang.

Suksesnya Reformasi setelah sepuluh tahun sejak bergulirnya ini, mengindikasi kepada sindrom kebebasan yang berlebihan. Reformasi yang kelewatan. Partai politik dapat dengan leluasa menyusun strategi-strategi politik dengan misi masing-masing, karena kendaraan politiklah yang mendapat legitimasi resmi untuk menduduki struktur pemerintahan Indonesia. Muncullah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan golongan nasionalis, agamis, sosialis, demokratis, sekularis bahkan mungkin neo-komunis dengan kepentingan yang sama: mengendalikan pemerintahan. Jika demikian, sungguh Indonesia hanyalah sebuah ajang perebutan kekuasaan para setan-setan politik. Lalu, “Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang tuk menghantam? Ataukah memang itu yang sudah digariskan? Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya.” (Iwan Fals, Sumbang)

Emosi massa dengan sangat mudahnya tersulut hanya karena sedikit perbedaan pendapat. Pelecehan-pelecehan terhadap para aparatur negara dengan sangat mudahnya terlontar dari mulut-mulut manusia tak bertanggungjawab. Konfrontasi berdarah antara aparat dan rakyat tak terhitung lagi jumlahnya. Hak Asasi Manusia diperdengungkan di ruas-ruas jalan demonstrasi, tetapi Kewajiban Asasi Manusia terhadap bangsa mereka lupakan. Yang akhirnya harus dituai adalah, pemerintahan bangsa Indonesia pasca Reformasi telah kehilangan wibawanya!

Kondisi semacam ini membuat stabilitas nasional tak lagi dinamis, jauh dari “Gemah Ripah Loh Jinawi.” Tentu saja, kondisi bangsa yang semacam ini tak mungkin selamanya dipertahankan. Jika pada masa Orde Lama kelompok pan-Islamisme yang direpresentasikan oleh SM. Kartosoewirjo -yang kemudian dicitrakan sebagai pemberontak- berani menentang kekuasaan RI dengan mendeklarasikan NII (Negara Islam Indonesia) karena kekecewaan terhadap pemerintahan waktu itu, bukankah nasionalis, sekularis, neo-komunis dan pan-Islamisme modern mempunyai ruang lebih luas untuk mengulang sejarah di era yang sering diartikan sebagai era kebebasan ini? Artinya, kancah politik bangsa akan mencapai titik muak dan mengharuskan perubahan -entah apapun bentuknya. Yang jelas, Postreformasi akan akan segera bergulir menggantikan Reformasi yang makin semrawut untuk menyempurnakan sejarah. Mau kemana bangsa kita?

READ MORE

OTOKRITIK

Tuesday, March 25, 2008


SALAH KAPRAH

Analogi tentang suatu pemahaman tak jarang menemui titik rancu, bahkan cenderung menjebak. Pengertian nusantara menurut pemahaman kita zaman ini dibanding dengan ketika Majapahit masih digdaya adalah hal lain. Nusantara dianalogikan sebagai seluruh wilayah di luar pulau Jawa yang menjadi jantung kekuasaan Majapahit. Sementara Jawa, disebut sebagai wilayah Jawa Dwipa. Inilah mengapa Gajahmada mengucap "Lamun huwus kalah nusantara, ingsun hamukti phalapa..." dalam sumpahnya yang lebih kita kenal dengan sumpah Phalapa. "Jika telah kalah nusantara, barulah aku menikmati istirahat." Hal yang sama sekali berbeda dengan pengertian kita saat ini. Nusantara kita fahami sebagai seluruh wilayah kepulauan -dalam dan luar Jawa.

Pengertian-pengertian rancu yang mengekosistem akan selalu bermetamorfosis menjadi pembenaran-pembenaran. Arek Malang akan menyebut segala jenis sepeda motor dengan sebutan Honda. "Ke kampus naik Honda, pulang dari pasar naik Honda," dst. Orang Jogja akan menyebut berbagai universitas dengan sebutan Gama (singkatan dari universitas Gajahmada). "Anak saya kuliah di Gama UIN, kuliah di Gama mana, dik?" dst. Atau, yang lebih dekat, kita akan selalu menyebut segala merk pompa air dengan sebutan Sanyo dengan mengesampingkan merk-merk lain. Distorsi pemahaman yang mencecar seiring rentangan zaman ini, meskipun rancu, akan menciptakan pemahaman-pemahaman baru yang akan selalu dibenar-benarkan. Demikian kita, sering terjebak dalam kubangan kesalahpenafsiran, meskipun kita sadari. Itulah apa yang sering disebut oleh orang Jawa sebagai salah kaprah. Pemahaman rancu lagi salah yang menjadi benar karena cecaran kebiasaan.

Lokakarya Stakeholders yang akan kita jelang sesaat lagi, memetakan titik berat kesuksesan di bangku kuliah (akademis). Pemetaan ini nampak jelas ketika berbagai aktifitas non bangku kuliah dibingkai sebagai kambing hitam lesunya tingkat kelulusan mahasiswa. Buktinya, propsal-proposal kegiatan ditekan. Dana pers terancam terkebiri. Olah raga tak mendapat ruang, padahal mahasiswa juga ingin sehat. Beberapa rekomendasi Rembuk Masisir yang telah terlaksana mengindikasi kepada pengebirian pers, penggalakan talkhis (ringkasan) diktat, dan pelembagaan bahasa Arab. Di sini, pelembagaan dianggap satu-satunya jalan yang paling tepat untuk mencapai keberhasilan, bukan membangun kesadaran-kesadaran kolektif. Padahal, sebuah ekosistem bernama mahasiswa akan lebih mudah diarahkan jika kesadaran akan kesepenanggungan mereka tersentuh. Cobalah tengok sejarah. Gerangan apa yang menyatukan ribuan bahkan jutaan baris mahasiswa untuk turun ke jalan pada tragedi 21 Mei 1998? Kesadaran akan kekuasaan yang mengecewakan telah menyatukan mereka, bahkan ikut menentukan masa depan bangsa. Dan, itulah yang perlu diterapkan oleh Lokakarya kepada mahasiswa kita di sini, bukan dengan melembagakan segala sesuatu.

Demikianlah, pola pandang tentang kesuksesan digempur ranahnya dari yang kosmo menjadi lebih sempit, bahkan sangat. Lokakarya akan membangun sebuah pola pandang umum bahwa kesuksesan hanya ada di bangku kuliah. Sematan "sarjana teks" bagi mereka yang dianggap sukses dalam segi akademis akan semakin liar menjangkit ke seluruh mahasiswa, terutama dengan direkomendasikannya suplai talkhis (ringkasan) diktat kuliah secara besar-besaran lagi melembaga. Padahal, mereka yang selama ini dianggap sukses dalam akademis adalah para penghafal teks-teks diktat kuliah yang handal, yang jika ujian usai, hafalan ikut buyar. Ini wajar, mengingat mereka cukup puas dengan standar keberhasilan itu walau wacana berdiskusi, meneliti, budaya, seni dan seterusnya tak masuk dalam kapasitas mereka. Masih sangat mentah.

Lalu, apakah itu yang dimaksud standar kesuksesan seorang mahasiswa? Tentu saja bukan. Tanpa Lokakarya pun, mereka yang disebut sebagai pasien Lokakarya karena tingginya kadar penyakit kegagalan di bangku kuliah bukannya tidak sadar akan penyakit itu. Mereka juga bukan orang-orang bodoh yang sama sekali tak mengerti bangku kuliah. Buktinya, mereka juga masih (menganggap penting) belajar ketika ujian tiba. Tetapi, standar kesuksesan menurut mereka bisa jadi berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh Lokakarya. Wacana semacam ini muncul lantaran kondisi berikut latar belakang mahasiswa berbeda-beda; ekonomi, psikologis, pendidikan, profesi dan seterusnya. Sehingga muncul mahasiswa-mahasiswa wirausahawan, budayawan, sastrawan, wartawan, penulis, penerjemah, seniman bahkan olahragawan. Tak lain, sekali lagi karena tuntutan kondisi. Toh, tak semua mahasiswa ingin jadi kiai, dosen atau guru.

Kehadiran Lokakarya, walau dipandang penting, akan menciptakan sebuah distorsi yang melenakan (menghipnotis). Penyudutan berbagai aktifitas non kampus tanpa disadari akan mematikan karya, karena wilayah kesuksesan yang dipersempit pemahamannya itu. Dan tatkala "cekokan" teks semakin menggurita, sementara ranah-ranah kreatifitas mahasiswa dipasung dengan disumbatnya kucuran dana, lalu apa yang bisa dibanggakan dari mahasiswa kecuali hapalan teks?

Kesimpulannya, Lokakarya tanpa porsi yang seimbang antara konstruksi kesadaran kolektif dan keharusan aturan hanya akan menciptakan generasi yang tidak padat karya, terjebak kepada distorsi pola pandang tentang kesuksesan yang sempit. Sebuah pemahaman yang salah, namun kaprah.

READ MORE

KOMUNITAS

Friday, February 29, 2008


LOKAKARYA; DUKUNGAN ATAU HUJATAN?


Niat baik tak selamanya mendapat sambutan baik, tak juga selamanya dipandang baik. Apalagi jika tidak diimbangi dengan sosialisasi yang merata. Kaitannya dengan Lokakarya yang digagas oleh Duber RI untuk Mesir, banyak pihak, individual maupun institusional yang masih buta mengenai kebijakan yang sebenarnya cukup bijak ini. Melihat prestasi mahasiswa yang sudah sangat jauh dari titik ideal dalam hal akademis, Duta Besar menunjukkan keprihatinannya dengan cara menggagas lokakarya peningkatan prestasi mahasiswa yang menurut rencana akan terselenggara pada 12-13 April mendatang. Itulah mengapa gagasan dan ide ini bijaksana.
Akan tetapi, tidak dapat disalahkan pula apabila kemudian muncul beberapa anggapan dan tanggapan bernada pesimistis semisal, acara semacam ini hanya akan menghabiskan dana tanpa hasil yang maksimal. Atau menuai semacam kritikan berbasis sebuah anggapan bahwa Lokakarya hanyalah melibatkan sekelumit orang dari Mahasiswa. Padahal, merekalah pihak yang seharusnya diajak duduk bersama, karena bagaimanapun yang akan diperjuangkan adalah nasib dan masa depan mereka. Pesimisme mahasiswa semakin dipertajam dengan tidak jelasnya anggaran dana yang akan dialokasikan; berapa, dari dan untuk siapa. Memang, pada dasarnya gagasan acara semacam ini akan menelan dana yang tak sedikit. Wajar saja jika kemudian sebagian mahasiswa justru tak menganggap penting gagasan ini.Dan lebih tak diinginkan, mereka justru tidak bersikap pro-aktif menyambutnya. Di sinilah perlunya sosialisasi, informasi. Bisa dijamin, nada-nada pesimis ini muncul hanya karena dua persoalan ini; informasi dan sosialisasi. Manakala persoalan ini sudah teratasi dengan porsi yang merata, maka yang terjadi adalah dukungan sepenuhnya dari mahasiswa.
Adalah penting, bagi pihak penyelenggara untuk bersegera menggagas acara bertajuk sosialisasi yang berorientasi meyakinkan mahasiswa, bahwa Lokakarya terselenggara demi mereka. Bukan untuk paraelit berpesta ria, apalagi menghamburkan dana. Ini harus dilakukan sebelum penilalan-penilaian negatif mahasiswa tentang Lokakarya semakin menjadi. Bentuknya, bisa dengan duduk bersama dengan mahasiswa dalam sebuah forum –seperti yang biasa dilakukan- seperti Coffee Morning, atau sosialisasi melalui tulisan-tulisan di media yang ada; cetak, elektronik, maupun dunia maya.
Lokakarya memang terselenggara demi dan untuk mahasiswa, maka tak ada alasan untuk tidak pro-aktif menyambutnya. Itu yang harus bisa diyakinkan oleh pihak penyelenggara kepada mahasiswa.◙

READ MORE

ARUS BAWAH

Friday, February 8, 2008


CARA YANG SEHAT UNTUK BANGSA YANG TERHORMAT
Detik-detik Sebelum dan Setelah Keputusan Coffee Morning 5 Februari

Ini bukan sekedar persoalan besar atau kecil, bukan pula sekedar banyak atau sedikit. Ini tentang cara pandang terhadap sebuah komunitas, martabat dan kehormatannya. Semakin dianggap suatu komunitas keberadaannya, semakin kukuh ia bermartabat. Dan, itu yang lenyap dari citra bermasyarakat kita kali ini; masyarakat madani, kaum terdidik. Entah siapa, tentunya bukan kita, yang memposisikan kita bukan sebagai sekumpulan kaum terpelajar, sehingga cara yang baik menjadi tidak penting untuk ditempuh dan diterapkan kepada kita.
Masyarakat madani bukanlah masyarakat pekerjawi yang gagap komunikasi dan informasi. Sehingga untuk memutuskan kebijakan tidak perlu lagi ada diskusi atau surat edaran resmi, cukup dengan menempelkan secarik kertas bertuliskan “Permohonan surat-surat dikenakan biaya segini…” di loket antri KBRI Nasr City.
15 Dollar atau 90 Pound Mesir bisa jadi tidak berarti apa-apa bagi sebagian mereka. Tapi bisa jadi sangat berharga bagi mereka yang untuk hidup saja harus menjudikan nasib studi mereka. Tengoklah mereka yang berusaha menegakkan hidup dengan cara menjual jasa di warung-warung. Atau tengoklah antrian panjang minhah dan musa’adah tiap kali ada jatah. Apa artinya? Bahwa, besar dan kecil memang selalu ada dalam struktur bermasyarakat, bahkan dalam masyarakat terpelajar seperti kita sekalipun. Dengan begitu, tidaklah tepat generalisasi yang menyimpulkan komunitas kita adalah semuanya orang berpunya, dengan argumen semacam: “Kalian semua orang kaya, karena berangkat ke luar negeri bisa.” Atau alasan semacam: “Kalian semua orang berpunya, karena telepon genggam semua punya.”Kita tidak menginginkan jurang pemisah, atau menyekat-nyekat sekumpulan bangsa Indonesia di negeri ini menjadi dua strata berbeda. Kita hanya menginginkan komunikasi yang sehat lagi hangat, antara pemerintah dan yang diperintah, yang apabila ia baik dan dengan cara yang baik pula, akan kita taati sepenuh hati. Dan jika sebaliknya, akan kita tolak masih dengan cara yang baik. Tetapi memang keduanya harus terbentuk dalam pola pandang kita belakangan ini; Paraelit dan paraalit. Ningrat dan rakyat. Kalaulah hal itu ada sebabnya, maka yang kami lihat adalah karena tidak adanya cara yang sehat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kita.
Mesir harus memandang penting terhadap Indonesia. Slogan yang harus kita dukung dan perjuangkan bersama. Beberapa hal yang kita anggap sebagai cara tidak sehat untuk sebuah bangsa yang ingin bermartabat serta dipandang penting. Paraelit kita menurunkan keputusan yang berkaitan dengan mahasiswa tanpa didahului sosialisasi yang baik semacam memberikan surat edaran (karena pengumuman dengan secarik kertas di loket bukanlah cara yang baik). Paraelit kita mengadakan forum bertajuk sosialisasi di Konsuler Nasr City (30 Januari 2008), tetapi yang terjadi bukanlah sosialisasi karena kita disuguhi draft yang sudah jadi. Bukan sosialisasi karena itu sudah realisasi. Bukankah sosialisasi dilakukan sebelum eksekusi setiap keputusan? Kemudian paraelit kita juga terkesan menghindar untuk memberikan alasan yang jelas dan komentar seputar SK Kementrian Luar Negeri bertahun 2002 dan bertandatangan Presiden Mega. Belum lagi, paraelit kita terlalu sibuk untuk menerima wawancara dari media mahasiswa. Sementara itu, paraalit tak bisa berbuat apa-apa karena keputusan telah final. Secara yuridis keputusan ini tetap sah, tetapi kita tidak bisa menjamin itu sah menurut etis. Apa kesimpulan? Untuk menuju bangsa yang bermartabat dan dipandang penting, paraelit kita justeru tak menganggap penting bangsa sendiri, sehingga untuk menentukan kebijakan kita tidak perlu dilibatkan. Walaupun pada akhirnya diadakan beberapa kali forum bertajuk sosialisasi seperti pada 30 Januari di Nasr City (Griya Jawa Tengah) serta 5 Februari di Garden City. Kenapa lantas ada forum sosialisasi sana-sini, baru setelah ada reaksi dari mahasiswa? Tidak bisa dijamin forum seperti ini akan ada jika tidak ada reaksi balik dari mahasiswa, dan keputusan berjalan apa adanya. Adanya reaksi, berarti ada yang salah dengan cara yang ditempuh oleh paraelit kita. Dan reaksi tersebut akhirnya membuahkan hasil. Coffee Morning 5 Februari di Balai Budaya KBRI yang dihadiri utusan Kekeluargaan, Afiliatif, dan beberapa elemen PPMI memutuskan dibekukannya kembali undang-undang pemungutan biaya surat-surat di Konsuler untuk sementara waktu dan dalam jangka yang tidak ditentukan. Dan memang sudah selayaknyalah keputusan itu kembali dibekukan, mengingat langkah awal yang ditempuh oleh pihak Kedutaan tidaklah sesuai dengan iklim masyarakat kita (mahasiswa, bukan pekerja).
Yang perlu diketahui oleh semua, bahwa Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pemegang kebijakan ampuh. Artinya, kaitannya dengan pemberlakuan undang-undang pemungutan biaya seperti ini, Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah penentu keputusan, akan diberlakukan atau dibekukan. Terbukti dari ditolerirnya pungutan biaya bagi mereka yang terlambat visa kurang dari satu bulan, hingga akhirnya Duta Besar memutuskan untuk membekukan undang-undang ini untuk sementara waktu pada forum Coffee Morning 5 Februari lalu. Begitu juga pada dua dekade kepemimpinan Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang lalu (Hasan Wirajuda dan Bachtiar Ali), di mana pada masa keduanya tidak diberlakukan pungutan itu, walaupun pada waktu itu turun SK tahun 2002 pada masa presiden Mega tentang biaya surat-surat yang keluar dari Kedutaan.
Kita menginginkan adanya komunikasi yang sehat lagi baik untuk setiap keputusan yang berhubungan dengan mahasiswa. Karena itu adalah cerminan bangsa yang terhormat. Caranya tentu saja dengan memahasiswakan mahasiswa, dengan melibatkan mereka dalam setiap keputusan yang berhubungan dengan mereka. Demikianlah untuk diketahui, beberapa gambaran tentang pergolakan-pergolakan yang terjadi dalam pandangan mahasiswa pada detik-detik sebelum dan setelah keputusan Coffee Morning 5 Februari 2008.

*Disarikan dari suara-suara resah arus bawah
Kita tidak menginginkan jurang pemisah, atau menyekat-nyekat sekumpulan bangsa Indonesia di negeri ini menjadi dua strata berbeda. Kita hanya menginginkan komunikasi yang sehat lagi hangat, antara pemerintah dan yang diperintah, yang apabila ia baik dan dengan cara yang baik pula, akan kita taati sepenuh hati. Dan jika sebaliknya, akan kita tolak masih dengan cara yang baik. Tetapi memang keduanya harus terbentuk dalam pola pandang kita belakangan ini; Paraelit dan paraalit. Ningrat dan rakyat. Kalaulah hal itu ada sebabnya, maka yang kami lihat adalah karena tidak adanya cara yang sehat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kita.
Mesir harus memandang penting terhadap Indonesia. Slogan yang harus kita dukung dan perjuangkan bersama. Beberapa hal yang kita anggap sebagai cara tidak sehat untuk sebuah bangsa yang ingin bermartabat serta dipandang penting. Paraelit kita menurunkan keputusan yang berkaitan dengan mahasiswa tanpa didahului sosialisasi yang baik semacam memberikan surat edaran (karena pengumuman dengan secarik kertas di loket bukanlah cara yang baik). Paraelit kita mengadakan forum bertajuk sosialisasi di Konsuler Nasr City (30 Januari 2008), tetapi yang terjadi bukanlah sosialisasi karena kita disuguhi draft yang sudah jadi. Bukan sosialisasi karena itu sudah realisasi. Bukankah sosialisasi dilakukan sebelum eksekusi setiap keputusan? Kemudian paraelit kita juga terkesan menghindar untuk memberikan alasan yang jelas dan komentar seputar SK Kementrian Luar Negeri bertahun 2002 dan bertandatangan Presiden Mega. Belum lagi, paraelit kita terlalu sibuk untuk menerima wawancara dari media mahasiswa. Sementara itu, paraalit tak bisa berbuat apa-apa karena keputusan telah final. Secara yuridis keputusan ini tetap sah, tetapi kita tidak bisa menjamin itu sah menurut etis. Apa kesimpulan? Untuk menuju bangsa yang bermartabat dan dipandang penting, paraelit kita justeru tak menganggap penting bangsa sendiri, sehingga untuk menentukan kebijakan kita tidak perlu dilibatkan. Walaupun pada akhirnya diadakan beberapa kali forum bertajuk sosialisasi seperti pada 30 Januari di Nasr City (Griya Jawa Tengah) serta 5 Februari di Garden City. Kenapa lantas ada forum sosialisasi sana-sini, baru setelah ada reaksi dari mahasiswa? Tidak bisa dijamin forum seperti ini akan ada jika tidak ada reaksi balik dari mahasiswa, dan keputusan berjalan apa adanya. Adanya reaksi, berarti ada yang salah dengan cara yang ditempuh oleh paraelit kita. Dan reaksi tersebut akhirnya membuahkan hasil. Coffee Morning 5 Februari di Balai Budaya KBRI yang dihadiri utusan Kekeluargaan, Afiliatif, dan beberapa elemen PPMI memutuskan dibekukannya kembali undang-undang pemungutan biaya surat-surat di Konsuler untuk sementara waktu dan dalam jangka yang tidak ditentukan. Dan memang sudah selayaknyalah keputusan itu kembali dibekukan, mengingat langkah awal yang ditempuh oleh pihak Kedutaan tidaklah sesuai dengan iklim masyarakat kita (mahasiswa, bukan pekerja).
Yang perlu diketahui oleh semua, bahwa Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pemegang kebijakan ampuh. Artinya, kaitannya dengan pemberlakuan undang-undang pemungutan biaya seperti ini, Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah penentu keputusan, akan diberlakukan atau dibekukan. Terbukti dari ditolerirnya pungutan biaya bagi mereka yang terlambat visa kurang dari satu bulan, hingga akhirnya Duta Besar memutuskan untuk membekukan undang-undang ini untuk sementara waktu pada forum Coffee Morning 5 Februari lalu. Begitu juga pada dua dekade kepemimpinan Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang lalu (Hasan Wirajuda dan Bachtiar Ali), di mana pada masa keduanya tidak diberlakukan pungutan itu, walaupun pada waktu itu turun SK tahun 2002 pada masa presiden Mega tentang biaya surat-surat yang keluar dari Kedutaan.
Kita menginginkan adanya komunikasi yang sehat lagi baik untuk setiap keputusan yang berhubungan dengan mahasiswa. Karena itu adalah cerminan bangsa yang terhormat. Caranya tentu saja dengan memahasiswakan mahasiswa, dengan melibatkan mereka dalam setiap keputusan yang berhubungan dengan mereka. Demikianlah untuk diketahui, beberapa gambaran tentang pergolakan-pergolakan yang terjadi dalam pandangan mahasiswa pada detik-detik sebelum dan setelah keputusan Coffee Morning 5 Februari 2008.

*Disarikan dari suara-suara resah arus bawah
** Pemred Informatika 2007-2008





READ MORE