Pages

Sorot

Monday, March 19, 2007

Semangat, dedikasi, serta kecenderungan intelektual Masisir perlu diacungi jempol. Sebagai komunitas kaum terpelajar yang kehadirannya dinantikan ditengah bangsa yang sedang 'sakit' dengan diagnosa penyakit yang complex, Masisir berusaha menjadi salah satu obat penyembuh salah satu penyakit yang diderita. Munculnya kelompok-kelompok kajian, forum-forum diskusi yang menjamur, study club-study club yang mengatasnamakan pengembangan intelektual yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan, adalah indikasi-indikasi yang menunjukkan ke arah itu. Adanya isu buruk yang beredar di tanah air, bahwasanya mahasiswa alumni universitas al-Azhar tidak bisa menulis bagus, menjadi salah satu sebab terkuat yang mendorong semangat ini. Ditambah lagi sistem perkuliahan al-Azhar yang jarang memberlakukan tugas menulis bagi mahasiswanya, semakin membuat Masisir merasa bagaikan singa yang akan mati kelaparan di padang rimba. Ya, Mesir adalah negeri gudang ilmu, gudang peradaban dunia. Mengapa harus ada cap buruk yang ditujukan kepada para alumni universitas tertua dunia ini? Inilah yang berusaha ditutupi oleh Masisir
Atas dasar itu semua, maka tidak berlebihan jika Masisir menjadikan forum-forum seperti di atas sebagai tempat pelarian bagi mereka yang selalu merasa haus akan segala macam ilmu dan disiplinnya. Forum-forum seperti itu menjadi pelampiasan Masisir yang tidak puas dengan hasil yang didapatkan dari bangku kuliah. Dari sanalah mereka belajar mengutarakan ide serta gagasan mereka kepada orang lain, menuangkannya dalam bentuk tulisan, kemudian mempresentasikannya dihadapan orang lain. Bukan itu saja, banyaknya organisasi yang merupakan representasi dari PPMI sebagai organisasi induk yang ada dalam kehidupan bersosial Masisir menjadi sarana tersendiri bagi Masisir untuk mengembangkan diri. Betapa tidak, maraknya organisasi berakibat pada lahirnya beberapa media yang mengatasnamakan pers dan jurnalistik yang menjamur pula. Berbagai hal bisa ditangkap dan disimpulkan sebagai penyebab hal ini. "Ada yang bersifat semacam fastabiqul khairat antar media, ada juga yang memang itu dianggap sebagai sebuah kebutuhan, ada pula pers yang berfungsi sebagai media dakwah," begitu jelas Udo Yamin Efendi, seorang pengamat pers Masisir yang telah dikarunia satu orang putra ini. Apa boleh dikata, setiap organisasi yang ada rasanya kurang lengkap jika belum memiliki media yang menampung aspirasi warganya. Bagaimanapun, keberadaan suatu media di setiap organisasi merupakan suatu keniscayaan, apapun dalih dan tujuannya; wadah silaturrahmi, penyalur aspirasi, bahkan gengsi sekalipun.
Dunia pers dan jurnalistik dalam sosial Masisir akhir-akhir ini memang mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Setidaknya dalam segi kuantitas. Hal ini diamini oleh M. Sholahuddin, pengamat pers Masisir yang juga salah seorang koresponden Gatra di Kairo ini. "Secara kuantitas memang sangat bagus. Dalam arti, dengan melihat kuantitas kita melihat semangat. Semangat untuk berpers. Karena hampir setiap organisasi mempunyai media pers, bahkan ada yang punya lebih dari satu media," ungkapnya.
Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa segala sesuatu jika semakin bertambah banyak semakin murah harganya, maka hal ini tidak berlaku untuk Masisir. Kalau kita cermati, banyaknya media-media pers yang dimiliki Masisir tidak serta merta berakibat negatif. Bahkan sebaliknya, Masisir semakin memiliki 'daya jual' tinggi di mata masyarakat kita. Dengan kata lain, hal tersebut memiliki nilai positif bagi intellectual building Masisir. Salah satunya adalah semangat untuk saling berlomba. Dengan adanya banyak media, semakin banyak pula orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dus, prosentasi menulis yang dimiliki mahasiswa juga semakin bertambah. Senada dengan hal ini, Cecep Taufikurrahman, S.Ag, salah seorang tokoh Masisir yang juga ketua PCIM berhusnudzon mengenai akibat yang ditimbulkan dari banyaknya media yang dimiliki dan dikelola oleh Masisir ini. "Saya menilai positif, selama itu dikelola dengan baik. Karena itu mendorong mahasiswa untuk banyak menulis. Karena bagaimanapun, semakin banyak media, semakin banyak orang yang mengelola. Dan akhirnya semakin banyak pula orang yang mau menulis," ungkapnya.
Boleh saja Masisir berlomba-lomba untuk berpers ria dengan memunculkan beberapa media yang dikelola dan kemudian dipublikasikan kepada khalayak massa. Akan tetapi, apakah pers dan media yang dimunculkan itu sudah memenuhi syarat sebagai pers yang ideal? Rasanya Masisir harus lebih memperhatikan hal yang satu ini. Pasalnya, peningkatan kuantitas pers yang begitu menonjol tidak diikuti dengan kualitas. "Secara kuantitas, pers Masisir mengalami kemajuan. Akan tetapi secara kualitas, kita masih jalan di tempat," terang Cecep. Walaupun media-media yang ada bersifat untuk kalangan sendiri, untuk golongan tertentu, yang nota bene kebanyakan berprinsip "Media media kita, biarpun jelek kita juga yang punya," tetapi sisi idealisme suatu media harus tetap diperhatikan. Sebut saja beberapa media indie yang diterbitkan oleh beberapa organisasi kedaerahan, afiliatif, ataupun almamater tertentu. Tentunya akan terasa sangat janggal dimata pembaca jika media-media seperti ini hanya bertarget asal terbit, asal ada tulisan saja. Walaupun tujuannya baik, untuk mempererat silaturrahmi, misalnya. Lebih dari itu, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana media-media yang ada tersebut bisa diterima dan dinilai baik oleh si pembaca. Bukan bagaimana media itu bisa terbit walaupun dengan terpaksa.
Munculnya media-media pers yang seperti bunglon dalam setiap organisasi (ada organisasi ada pers) itu barang kali berangkat dari sebuah stigma bahwa, untuk melahirkan pers yang dibutuhkan hanyalah printer dan alat foto kopi. Maka muncullah pers. Tentunya suatu hal yang sangat mudah, dan bisa dilakukan oleh setiap orang. Akan tetapi untuk menciptakan media yang betul-betul ideal atau paling tidak mendekati ideal rasanya kuantitas yang ada tidak sebanding dengan kualitas. "Sampai saat ini kita masih punya tugas besar tentunya untuk menyekolahkan insan-insan pers, termasuk juga persnya sendiri. Agar dengan kekuatan pers itu kita bisa menyumbang, karena kita disini membawa nama almamater al-Azhar", ungkap M. Sholahuddin ketika ditanya tentang idealisme pers Masisir. Senada dengan M. Sholahuddin, Nur Fuad juga berkomentar tentang hal ini. "Kalau dikatakan ideal, pers Masisir masih jauh dari ideal. Karena ideal adalah apa yang harus kita laksanakan, sedangkan kita ini hanya bisa melaksanakan apa yang kita bisa. Tetapi kita terus menuju ideal," ungkap presiden PPMI ini.
Untuk menciptakan pers dan media yang ideal memang tidak ada kriteria dan syarat-syarat tertentu. Tetapi ukuran kepantasan suatu pers untuk dijadikan konsumsi publik itulah yang harus dijadikan patokan. Jangan sampai media yang dimunculkan itu hanya membuat pembusukan karakter, membuang-buang tenaga dan waktu saja untuk membacanya. "Jangan sampai yang dibaca oleh orang itu sampah," istilah Udo. Lalu apakah media-media pers yang dimiliki Masisir saat ini telah mencapai target itu? Ataukah media-media yang terbit itu hanyalah calon-calon sampah yang akan menjadi alas panci di dapur?

No comments:

Post a Comment