Pages

PENGGARONG PULSA!

Sunday, July 21, 2013

Image from Google
Saya orang awam dalam dunia telekomunikasi. Saya tidak mengerti bagaimana cara kerja sebuah perusahaan provider. Yang saya tahu, saya menjadi pelanggan salah salah satu provider telekomunikasi di Indonesia. Oh, saya ralat: saya menjadi pelanggan beberapa provider telekomunikasi di Indonesia. Ya, sebagaimana jamak dilakukan orang, perkembangan dan persaingan dunia telekomunikasi membuat saya memiliki beberapa sim card dengan provider berbeda. Yang sering saya gunakan adalah Telkomsel Simpati dan Indosat IM3.

Malangnya, saya sama-sama pernah dikecewakan dengan dua provider yang menjadi langganan saya tersebut. Kasus pencurian pulsa oleh, entah provider atau operator seluler (sekali lagi, saya awam), yang beberapa waktu lalu sempat meledak kembali terjadi. Pertama, pulsa saya dimaling oleh Telkomsel (kelak Telkomsel mengakui dan mengganti pulsa saya). Kejadian ini bermula sekitar bulan Maret lalu. Saat itu, saya mendaftar paket Blacberry Full Service Rp 90 ribu dan berhasil. Anehnya, ketika saya membuka internet (browsing, social media, dan lain-lain) pulsa saya masih juga tersedot untuk data. Padahal paket Full Service saya sudah aktif.

Saya lalu beberapa kali melakukan komplain dengan cara menelepon customer service (CS) Telkomsel. Anehnya, jawaban yang diberikan masing personel CS berbeda. Ada yang meminta saya menonaktifkan fitur-fitur tertentu, ada yang meminta saya mengecek beberapa setting di Blackberry saya, dan lain-lain. Karena tak kunjung mendapat solusi, saya sempat marah. Saya bilang, kalau dalam tiga hari pulsa saya masih tersedot alias dimaling, saya akan blow up masalah ini di media massa. Benar saja, setelah lebih dari tiga hari, pulsa saya masih juga dimaling. Beruntung, belum sempat saya menulis kejadian ini di media, saya sudah dihubungi pihak Telkomsel. Setelah mengecek kebenaran biodata dan laporan saya, Telkomsel akhirnya memberitahukan bahwa pulsa saya akan dikembalikan.

Memang, tak lama setelah itu, pulsa saya dikembalikan. Namun jumlahnya hanya Rp 10 ribu. Padahal, saya merasa pulsa saya yang dimaling dalam periode itu (aktifasi paket full service hingga penggantian pulsa) lebih besar. Tapi taka apa. Saya bisa terima. Setidaknya, saya masih menghargai niat baik provider itu untuk bertanggungjawab terhadap pelanggannya.

Nah, kejadian serupa kembali terjadi. Kali ini terjadi pada kartu Indosat IM3 yang saya gunakan. Sekitar pukul 20.00 kemarin (20/7), saya baru saja mengisi pulsa Rp 10 ribu. Tak ada angin tak ada hujan, setelah saya cek, pulsa saya hanya tersisa Rp 5.600 (pulsa awal saya tak cukup untuk sms, saya lupa nominal persisnya). Padahal, saya baru menggunakannya untuk satu kali sms, itupun ke sesama nomor Indosat. Memang, sebelumnya saya menggunakan internet, tapi memakai koneksi wifi. Bukan paket data. Namun untuk meyakinkan apakah pulsa saya tersedot karena menggunakan data internet atau bukan, saya tetap mengecek data connection di android saya. Ternyata paket data saya off. Tidak aktif. Terus apa yang membuat pulsa saya hilang?

Dari sini saya mulai sadar bahwa saya menjadi korban maling pulsa (lagi). Siapa malingnya? Saya tidak tahu. Yang jelas, saya merasa menjadi pelanggan yang dikecewakan oleh penjualnya sendiri. Yang bisa melacak siapa maling pulsa saya (mungkin juga pelanggan-pelanggan lain namun tidak bersuara) adalah provider itu sendiri dan para pakar telekomunikasi.

Sebagaima orang awam, menanggapi pencurian pulsa ini saya hanya berpikir dengan logika purba seperti ini: kalau setiap pelanggan pernah dimaling pulsanya, taruhlah Rp 1000 saja, dikalikan jumlah pelanggan Telkomsel yang mencapai 125 juta dan Indosat 55,9 pelanggan (data tahun 2013), berapa jumlah uang pelanggan yang digarong? Kalau pulsa yang dimaling lebih dari Rp 1000 seperti saya? Anda tentu bisa menghitungnya sendiri.
READ MORE

SEPENGGAL TOLERANSI DARI MUSALA MINI

Saturday, July 20, 2013

Saya sedang menjadi musafir saat tarawih pertama digelar Selasa (10/7) malam lalu. Tibalah saya di sebuah musala, belakang pusat perbelanjaan di Cibubur, Jakarta. Tepatnya di sebuah gang padat pemukiman, nyaris tak tampak kecuali oleh mata yang awas. Namanya Jami’ul Muslimin. Keterangan yang saya dapat dari warga, musala mini ini rupanya masuk teritorial Bekasi, Jawa Barat. Seperti lazimnya tarawih pertama, jamaah membeludak hingga ke teras musala, bahkan sejak azan isya’ belum berkumandang. Laki, perempuan, tua, muda, anak-anak.

Saya merasa akan menjadi pusat perhatian puluhan jamaah lainnya, karena hanya saya dan Edo, teman saya, yang mengenakan stelan jeans dan kaos untuk tarawih malam itu. Kami tak peduli. Toh kami beribadah bukan untuk mereka. Lagipula, kami harus mengejar sisa waktu magrib yang tinggal beberapa menit.  

Azan isya’ dikumandangkan. Seorang berjanggut dengan baju koko, peci putih, dan celana di atas mata kaki tampil sebagai muazin. Sembari menunggu iqamat, jamaah masyuk dengan zikir masing-masing. Tak ada puja-puji atau shalawat Nabi dikumandangkan dengan suara keras. Melihat ciri ini, saya menduga jamaah musala ini tentulah berkultur Muhammadiyah. Bukan NU yang kental dengan tradisi pelafalan verbal dalam beribadah. (Hegemoni kultur beragama di negara ini memaksa saya memandang perilaku ibadah sebuah masyarakat dari dua kutub identitas: Muhammadiyah atau NU. Kalau bukan Muhammadiyah, ya NU). Malam itu, kami akan salat tarawih delapan rakaat, sebagaimana tradisi warga Muhammadiyah.  

Saya semakin yakin dengan dugaan itu, manakala sang imam juga tak memimpin jamaah untuk mengeraskan suara saat zikir usai shalat. Sampai ketika si bilal, lelaki dengan celana di atas mata kaki dan berjanggut itu, memberi pengumuman kepada jamaah, “Malam ini kita akan salat tarawih duapuluh rakaat. Bagi jamaah yang rakaatnya berbeda, bisa diatur bagaimana baiknya,” katanya. Seketika, penilaian saya terhadap identitas jamaah musala itu runtuh. Termasuk pada si bilal yang juga muazin itu.

Saya tak bisa lagi menduga bahwa identitas jamaah yang sedang saya “tumpangi” adalah Muhammadiyah. Sebab, duapuluh rakaat bukanlah identitas Muhammadiyah. Ia dianut NU. Sebagaimana maklum, jumlah rakaat merupakan hal paling prinsip dalam identitas kultur masyarakat Islam Indonesia selama ini. Apakah NU atau Muhammadiyah. Namun, menduga bahwa identitas mereka adalah NU juga tidak tepat. Sebab, diam dalam berzikir bukanlah identitas NU.

Sedangkan pada si bilal, dalam pikiran saya (mungkin juga orang lain, seperti kawan saya Edo) telah terbangun semacam stigma, bahwa janggut, celana di atas mata kaki, baju koko dan peci selalu berasosiasi pada Islam ekslusif yang anti perbedaan, anti toleransi. “Salah satu cara mengidentifikasi ideologi beragama seseorang adalah dengan memperhatikan pakaiannya saat beribadah,” katanya. Tapi nyatanya, justru si bilal yang membuka ruang toleransi bagi jamaah yang berbeda pandangan soal jumlah rakaat.

Sebetulnya masih ada satu lagi yang membuat kami merasa harus terjebak di antara dua kutub ideologi itu. Yaitu tradisi berceramah di tengah-tengah tarawih. Sungguh, itu sama sekali bukan tradisi NU. Tradisi itu dianut Muhammadiyah. Namun jika melihat isi ceramah sang imam, anda tentu juga akan menduga bahwa dia berpaham NU. Dalam ceramahnya, sang imam memberi tahu amalan-amalan tertentu dalam rangka menyambut Ramadan. Salah satunya adalah menyelupkan makanan ke dalam garam yang sudah dibacakan doa tertentu. “Ini seperti yang diajarkan para ulama saleh kita terdahulu,” jelasnya. 

Rupanya kami harus kecewa, tetapi juga sekaligus bangga. Kecewa, karena dugaan awal kami mengenai identitas jamaah musala itu salah. Bangga, karena ternyata ketegangan ideologis dan klaim kebenaran sektarian pada masing-masing NU dan Muhammadiyah sebagaimana banyak terjadi, terutama di akar rumput, tak berlaku di sini. Yang menarik adalah, bagaimana musala kecil ini mengakulturasi dua ideologi yang selama ini dianggap mewakili kutub berbeda dan kerap bersitegang: zikir ala Muhammadiyah, tarawih ala NU, dan ceramah ala keduanya.

Maka insyaflah saya, bahwa perbedaan perilaku ibadah tak perlu diseret ke dalam golongan tertentu. Tak perlu memutilasi umat ke dalam sekat-sekat perselisihan, apalagi hanya soal jumlah rakaat tarawih. Musala kecil ini adalah contoh bagaimana toleransi menjadi solusi dalam menyikapi perbedaan. Sebagaimana namanya, ia adalah rumah terbuka bagi umat Islam mana saja, golongan apa saja. Jami’ul Muslimin. Penghimpun umat Islam. 
READ MORE

MATI

Tuesday, July 2, 2013


Adakah yang lebih menyedihkan dari matinya inspirasi
Tangan tak lagi bisa menari
Mata tak lagi bisa membaca
Kepala tak lagi bisa menalar

Sungguh
Aku benci kematian ini
Meski sesaat
Meski tak abadi

READ MORE

SUARA JALANAN

Friday, June 21, 2013

Aku suara hati
Kau mata belati
Aku menghunus pena
Kau menghujam panah

Teriak lagi
Tercekik lagi
Berontak lagi
Terpasung lagi

Aku cacing tanah
Kau raksasa durjana
Aku debu jalanan
Kau angin topan

Berdiri lagi
Terlindas lagi
Menggeliat lagi
Terinjak lagi

Mati.


(Lihat SUARA JALANAN)
READ MORE

PANGGUNG SANDIWARA

Wednesday, June 19, 2013

 


Di atas panggung sandiwara kehidupan, kau dihadapkan pada pilihan peran hitam dan putih. Perankanlan pilihanmu, apapun itu, sepenuh hatimu. Namun kala pertunjukan usai, ingatlah bahwa kau hanya bersandiwara. 
READ MORE

KONTEMPLASI

Monday, June 17, 2013

Lolong serigala di tengah terik
Burung hantu di musim paceklik
Kuucap salam untukmu wahai perih
Semoga tak abadimu abadi

Aku adalah Muhammad kala ia menggigil di samping Khadijah
Mulutnya menggumam gemetar
Selimuti aku, selimuti aku.
READ MORE

(T) AKUT?

Monday, May 13, 2013


Jika Izrail menjemputku sebelum jemariku-jemarimu menggenggam cita
Lapangkanlah jalanku dengan samudera maafmu
Mercusuar di pulau harapan jangan kaupadamkan

Sebab aku menunggumu di Taman Eden
Dengan larik-larik sajak yang kurangkai sedari lahat
Kuhamparkan sebagai karpet merah
Untuk menyambut kedatanganmu

Aku hanya merasa lambungku sudah terlampau ringkih
Hingga bubur yang lembutpun membuatnya merintih. 
READ MORE