Pages

OTOKRITIK

Tuesday, March 25, 2008


SALAH KAPRAH

Analogi tentang suatu pemahaman tak jarang menemui titik rancu, bahkan cenderung menjebak. Pengertian nusantara menurut pemahaman kita zaman ini dibanding dengan ketika Majapahit masih digdaya adalah hal lain. Nusantara dianalogikan sebagai seluruh wilayah di luar pulau Jawa yang menjadi jantung kekuasaan Majapahit. Sementara Jawa, disebut sebagai wilayah Jawa Dwipa. Inilah mengapa Gajahmada mengucap "Lamun huwus kalah nusantara, ingsun hamukti phalapa..." dalam sumpahnya yang lebih kita kenal dengan sumpah Phalapa. "Jika telah kalah nusantara, barulah aku menikmati istirahat." Hal yang sama sekali berbeda dengan pengertian kita saat ini. Nusantara kita fahami sebagai seluruh wilayah kepulauan -dalam dan luar Jawa.

Pengertian-pengertian rancu yang mengekosistem akan selalu bermetamorfosis menjadi pembenaran-pembenaran. Arek Malang akan menyebut segala jenis sepeda motor dengan sebutan Honda. "Ke kampus naik Honda, pulang dari pasar naik Honda," dst. Orang Jogja akan menyebut berbagai universitas dengan sebutan Gama (singkatan dari universitas Gajahmada). "Anak saya kuliah di Gama UIN, kuliah di Gama mana, dik?" dst. Atau, yang lebih dekat, kita akan selalu menyebut segala merk pompa air dengan sebutan Sanyo dengan mengesampingkan merk-merk lain. Distorsi pemahaman yang mencecar seiring rentangan zaman ini, meskipun rancu, akan menciptakan pemahaman-pemahaman baru yang akan selalu dibenar-benarkan. Demikian kita, sering terjebak dalam kubangan kesalahpenafsiran, meskipun kita sadari. Itulah apa yang sering disebut oleh orang Jawa sebagai salah kaprah. Pemahaman rancu lagi salah yang menjadi benar karena cecaran kebiasaan.

Lokakarya Stakeholders yang akan kita jelang sesaat lagi, memetakan titik berat kesuksesan di bangku kuliah (akademis). Pemetaan ini nampak jelas ketika berbagai aktifitas non bangku kuliah dibingkai sebagai kambing hitam lesunya tingkat kelulusan mahasiswa. Buktinya, propsal-proposal kegiatan ditekan. Dana pers terancam terkebiri. Olah raga tak mendapat ruang, padahal mahasiswa juga ingin sehat. Beberapa rekomendasi Rembuk Masisir yang telah terlaksana mengindikasi kepada pengebirian pers, penggalakan talkhis (ringkasan) diktat, dan pelembagaan bahasa Arab. Di sini, pelembagaan dianggap satu-satunya jalan yang paling tepat untuk mencapai keberhasilan, bukan membangun kesadaran-kesadaran kolektif. Padahal, sebuah ekosistem bernama mahasiswa akan lebih mudah diarahkan jika kesadaran akan kesepenanggungan mereka tersentuh. Cobalah tengok sejarah. Gerangan apa yang menyatukan ribuan bahkan jutaan baris mahasiswa untuk turun ke jalan pada tragedi 21 Mei 1998? Kesadaran akan kekuasaan yang mengecewakan telah menyatukan mereka, bahkan ikut menentukan masa depan bangsa. Dan, itulah yang perlu diterapkan oleh Lokakarya kepada mahasiswa kita di sini, bukan dengan melembagakan segala sesuatu.

Demikianlah, pola pandang tentang kesuksesan digempur ranahnya dari yang kosmo menjadi lebih sempit, bahkan sangat. Lokakarya akan membangun sebuah pola pandang umum bahwa kesuksesan hanya ada di bangku kuliah. Sematan "sarjana teks" bagi mereka yang dianggap sukses dalam segi akademis akan semakin liar menjangkit ke seluruh mahasiswa, terutama dengan direkomendasikannya suplai talkhis (ringkasan) diktat kuliah secara besar-besaran lagi melembaga. Padahal, mereka yang selama ini dianggap sukses dalam akademis adalah para penghafal teks-teks diktat kuliah yang handal, yang jika ujian usai, hafalan ikut buyar. Ini wajar, mengingat mereka cukup puas dengan standar keberhasilan itu walau wacana berdiskusi, meneliti, budaya, seni dan seterusnya tak masuk dalam kapasitas mereka. Masih sangat mentah.

Lalu, apakah itu yang dimaksud standar kesuksesan seorang mahasiswa? Tentu saja bukan. Tanpa Lokakarya pun, mereka yang disebut sebagai pasien Lokakarya karena tingginya kadar penyakit kegagalan di bangku kuliah bukannya tidak sadar akan penyakit itu. Mereka juga bukan orang-orang bodoh yang sama sekali tak mengerti bangku kuliah. Buktinya, mereka juga masih (menganggap penting) belajar ketika ujian tiba. Tetapi, standar kesuksesan menurut mereka bisa jadi berbeda dengan apa yang dikehendaki oleh Lokakarya. Wacana semacam ini muncul lantaran kondisi berikut latar belakang mahasiswa berbeda-beda; ekonomi, psikologis, pendidikan, profesi dan seterusnya. Sehingga muncul mahasiswa-mahasiswa wirausahawan, budayawan, sastrawan, wartawan, penulis, penerjemah, seniman bahkan olahragawan. Tak lain, sekali lagi karena tuntutan kondisi. Toh, tak semua mahasiswa ingin jadi kiai, dosen atau guru.

Kehadiran Lokakarya, walau dipandang penting, akan menciptakan sebuah distorsi yang melenakan (menghipnotis). Penyudutan berbagai aktifitas non kampus tanpa disadari akan mematikan karya, karena wilayah kesuksesan yang dipersempit pemahamannya itu. Dan tatkala "cekokan" teks semakin menggurita, sementara ranah-ranah kreatifitas mahasiswa dipasung dengan disumbatnya kucuran dana, lalu apa yang bisa dibanggakan dari mahasiswa kecuali hapalan teks?

Kesimpulannya, Lokakarya tanpa porsi yang seimbang antara konstruksi kesadaran kolektif dan keharusan aturan hanya akan menciptakan generasi yang tidak padat karya, terjebak kepada distorsi pola pandang tentang kesuksesan yang sempit. Sebuah pemahaman yang salah, namun kaprah.

READ MORE