Pages

PROFESI

Thursday, November 8, 2007


SUARA PPMI, BUKAN SUARA DPP-PPMI!!
Oleh Agus Khudlori

Berbicara dalam konteks Masisir, anda, saya, dan orang lain adalah PPMI. Atau statement ini bisa dibalik menjadi: "PPMI adalah anda, saya, dan orang lain." Tak terkecuali para anggota Dewan Pengurus Pusat (DPP) yang sekarang menahkodai kepengurusan PPMI, semuanya adalah PPMI. Karena kesemua-muanya kita adalah pelajar dan mahasiswa Indonesia di Mesir. Jadi, kita semua PPMI bukan? Maka salah jika ada orang yang memahami PPMI adalah DPP-PPMI, dan oleh karenanya acuh terhadap segala permasalahan yang terjadi. Pemahaman yang salah ini dapat diluruskan menjadi: "DPP-PPMI adalah wakil kita yang (seharusnya) dapat menjembatani aspirasi, menunaikan harapan, bahkan melayani kebutuhan kita." Lebih dari itu, PPMI adalah kita semua, bukan hanya Dewan Pengurus Pusat (DPP).
Dari sini, penulis merasa berkepentingan untuk (sebelumnya) menekankan bahwa tulisan ini bukanlah bermaksud untuk menggurui, apalagi merendahkan. Lebih dari itu, sebagai bentuk kepedulian terhadap PPMI, lebih tepatnya terhadap media persnya (Suara PPMI). Oleh karenanya dan atas pertimbangan rekan-rekan media, tulisan ini dimuat di buletin TeROBOSAN.
Flash back kepada beberapa tahun lalu, berbagai nada sumbang dialamatkan kepada Suara PPMI. Di antaranya; sebagai media, Suara PPMI dianggap terlalu ekslusif, satu warna, serta kurang bisa menjadi corong yang benar-benar menyuarakan kepedulian terhadap Masisir. Kondisi ini berusaha diperbaiki pada masa
Kabinet Kebersamaan periode 2006-2007 lalu. Menyadari pentingnya peran media sebagai indikator hidup-matinya dinamika sebuah organisasi (Nurul Hadi Abdi, buletin Informatika edisi 124/September 2007), Kabinet Kebersamaan yang dipimpin oleh Sdr. Fuad ini berusaha memperjuangkan eksistensi Suara PPMI agar benar-benar dapat bersuara. Salah satu caranya adalah keputusan tegas Kabinet Kebersamaan untuk merombak total substansi isi dan rubrikasi buletin Suara PPMI yang tahun sebelumnya dinilai gagal menjembatani aspirasi Masisir. Berikut dihadirkan pula orang-orang berpengalaman dalam dunia permediaan untuk terlibat langsung menangani buletin Suara PPMI. Hasilnya, Suara PPMI beranjak lebih baik, mulai diperhitungkan serta dapat bersaing dengan media pers yang lain.
Namun, bagaimana dengan media kita -Suara PPMI- tahun ini, setelah suara-suara sumbang itu dapat diredam untuk minimal satu tahun yang lalu? Agaknya, Suara PPMI kembali mengekor para pendahulunya yang dalam kacamata Masisir kurang bisa mewadahi dan memperjuangkan kepedulian terhadap Masisir, sehingga nada-nada sumbang itu kembali kita dengar. Benarkah demikian? Mari kita lihat beberapa tema yang diangkat Suara PPMI selama dua kali penerbitannya periode ini:
"Prestasi Akademik 2007 Meningkat" (Edisi pertama, rubrik Laporan Utama). Tema ini melaporkan tentang kinerja panitia PPMI Academic Award 2007 di Auditorium Sholah Kamil. "Lahirnya OISAA di Sidney 2007" (Edisi pertama, rubrik Kolom/Talqis Nurdianto, Lc). Tulisan ini melaporkan kunjungan presiden PPMI ke Sidney-Australia dalam rangka Konferensi Internasional Pelajar Indonesia September lalu. "Langkah Awal Perjuangan Kabinet Masisir" (Edisi pertama, rubrik Kolom/Yopi Nurdiansyah Zakaria, Menko I Kabinet Masisir). Tulisan ini melaporkan –tepatnya menceritakan- beberapa hasil pembahasan dalam sidang Pleno II BPA September lalu. "PPMI, Pengembangan Skil Masisir [?] (Edisi kedua, rubrik Jaring Aspirasi). Tema ini mencoba menghubungkan antara beberapa agenda kegiatan PPMI yang telah terlaksanakan dengan pengembangan skill Masisir. "BWAKM, Membangun Kesejahteraan Masisir" (Edisi kedua, rubrik Laporan Utama). Rubrik ini memaparkan rentetan daftar program kerja terlaksana BWAKM tahun ini, kaitannya sebagai salah satu badan otonom PPMI.
Lalu sebagai pembanding, lihat pula beberapa tema yang diangkat oleh Suara PPMI periode Kabinet Kebersamaan tahun lalu:
"PPMI Kurang Merakyat" (Edisi pertama, rubrik Jaring Aspirasi) Rubrik ini mengangkat asumsi-asumsi kritis Masisir terhadap kinerja Kabinet Kebersamaan PPMI setelah 30 hari menjabat. "Masisir Butuh Dokter." Tema ini mengangkat permasalahan kesehatan Masisir yang mulai terusik, sedang sarana dan prasara kesehatan seperti dokter tidak tersedia. "Pendidikan Anak Bangsa Tanggung Jawab Siapa?" (Edisi kesembilan, rubrik Jaring Aspirasi) Tema ini mencoba mengangkat seputar keresahan-keresahan Masisir berkeluarga terhadap nasib pendidikan anak-anak mereka, salah satunya karena letak SIC yang terlalu jauh, serta biaya sekolah di sana yang relatif mahal. "Maba, Anak yang Tak Berdosa" (Edisi kesembilan, rubrik Kolom/Syamsu Alam Darwis). Tulisan ini merupakan bentuk keprihatinan terhadap kasus-kasus mahasiswa baru yang selalu menjadi objek 'kenakalan' mediator.
Dari beberapa contoh tema di atas, kira-kira apa yang bisa kita simpulkan? Pada periode ini (Kabinet Masisir), Suara PPMI tak ubahnya hanyalah progress report (laporan kerja) DPP-PPMI yang dipublikasikan. Tak lebih dari itu. Artinya, Suara PPMI secara subjektif lebih condong untuk mengekspos agenda kegiatan DPP-PPMI kepada khalayak publik daripada kepedulian terhadap permasalahan Masisir. Berbeda dengan periode sebelumnya yang lebih cenderung peduli terhadap permasalahan Masisir, sehingga Suara PPMI dinilai telah sukses mengoptimalkan fungsi ‘corong’nya.
Maka wajar, jika publik Masisir memberikan komentar-komentar negatif terhadap Suara PPMI pasca dua kali penerbitan periode ini. Lebih miris, publik Masisir ternyata tak hanya mengomentari substansi isi Suara PPMI yang terkesan "kurang peduli' tersebut. Masalah rubrikasi, editing bahkan perwajahan Suara PPMI tahun ini juga ramai menjadi buah bibir, khususnya dikalangan Masisir yang mempunyai kepedulian terhadap media. Mengapa hal itu sampai terjadi? Sejauh pengamatan penulis, banyak faktor yang melatarinya. Di antaranya: Pertama; Pola pandang serta kesadaran Kabinet terhadap pentingnya peran media kurang, sehingga Suara PPMI terkesan apa adanya, asal jalan, tanpa ada upaya untuk memperjuangkan semisal mengkonsultasikannya dengan eks. redaktur periode sebelumnya atau menerjunkan orang-orang berpengalaman di bidangnya.
Kedua; Gengsi idealisme. Benarkah demikian? Mungkin saja. Apalagi setelah Suara PPMI periode lalu mendapat hujatan tajam ketika LPJ dalam Sidang Umum II MPA-PPMI. Ini diperkuat dengan dirombaknya kembali rubrikasi, substansi isi, serta perwajahan Suara PPMI pada edisi pertamanya periode ini, walaupun pada edisi keduanya Suara PPMI sudah berusaha kembali kepada format periode sebelumnya.
Demikianlah, sekelumit tulisan yang penulis harapkan dapat menjadi titik tolak terjadinya standarisasi antar media. Karena bagaimanapun, Suara PPMI adalah media organisasi induk PPMI. Dan karenanya akan selalu menjadi sorotan publik. Maka sudah seharusnya lebih bisa meningkatkan kepedulian terhadap Masisir, sehingga fungsi kontrol sosial media tidak hilang. Apalagi, nama Kabinet sekarang adalah Kabinet Masisir. Suara PPMI harusnya lebih dapat memperjuangkan Masisir.
Sebagai penutup, sekali lagi penulis ingin menekankan bahwa PPMI adalah kita semua, Dewan Pengurus, anda, saya, dan orang lain. Maka suara PPMI adalah suara kita semua, Masisir seluruhnya, bukan hanya suara DPP-PPMI. Kalau saja unsur progress report masih tetap dominan dalam Suara PPMI, ganti saja nama Suara PPMI menjadi Suara DPP-PPMI. Bagaimana?◙