Pages

KOMUNITAS

Thursday, November 8, 2007



BERBAHASA ARAB DI NEGERI ARAB
(SEBUAH KESAKSIAN ATAS KEPRIHATINAN)

Salah satu idealisme setiap mahasiswa ketika menanamkan niatnya untuk menuntut ilmu di negeri ini adalah aktualisasi kemampuan berbahasa Arab yang dimiliki, menilik latar belakang mahasiswa sebagai santri pesantren di seluruh penjuru tanah air. Tentu saja, materi bahasa Arab menjadi main object dalam silabus pembelajaran setiap pesantren. Tak hanya sisi gramatikal (Nahwu dan Shorof), secara umum pesantren di Indonesia menjadikan literatur-literatur berbahasa Arab sebagai menu wajib untuk ditelaah dan dikaji, walaupun metodologi pembelajaran setiap pesantren berbeda. Bahkan di pesantren yang berlabel paling tradisional (salafi) sekalipun, tradisi bahasa Arab kental terlihat. Di sana, dalam mengkaji berbagai literatur (baik turats maupun kontemporer) literatur-literatur tersebut diterjemahkan secara langsung ke dalam bahasa Jawa atau bahasa daerah masing-masing, sesuai letak geografis tiap pesantren. Uniknya, walaupun diterjemahkan ke dalam bahasa daerah masing-masing, terjemahan tersebut masih ditulis menggunakan huruf Arab. Dalam istilah pesantren tradisional di Jawa, tulisan ini disebut dengan tulisan Arab Pegon. Ini adalah bukti, betapa bahasa Arab menempati posisi strategis dalam tradisi pesantren di tanah air, sekaligus menegaskan bahwa para alumnus kampus Azhar yang notabene berlatar belakang pesantren terkait, dari segi bahasa Arab akan lebih dipertimbangkan secara kualitas karena nilai plus sebagai alumnus kampus negeri Arab. Hal ini menjadi sebuah stimulan tersendiri bagi lahirnya semangat improvisasi bahasa Arab setiap calon mahasiswa Arab dan Timur Tengah. Namun naif, ketika telah benar-benar dihadapkan dengan situasi sebagai mahasiswa, obsesi untuk lebih bisa mengaktualisasikan diri dengan bahasa Arab justru malah lebur, luntur di tengah-tengah komunitas bangsa Arab. Setidaknya bisa dilihat dari indikasi-indikasi yang mengarah kepada sebuah kesimpulan bahwa kemampuan dan kecenderungan berbahasa Arab mahasiswa Indonesia di sini (Mesir) menurun. Di sini, penulis tertarik untuk memberikan komentar berupa beberapa faktor yang dalam perspektif penulis sangat berpengaruh terhadap degradasi semangat berbahasa Arab Masisir. Dalam hal ini pendekatan penulis terhadap faktor-faktor tersebut terangkum dalam dua tinjauan umum sebagai berikut:Pertama; Tinjauan kejiwaan (psikologis). Tentu saja bahasa Arab yang sedang saya singgung di sini adalah bahasa Arab resmi (fusha), bukan bahasa ammiyyah yang banyak digunakan dalam interaksi keseharian bangsa Arab serta jauh dari kaedah-kaedah bahasa yang benar. Kendala pertama yang dihadapi mahasiswa -terkhusus Masisir- kala awal-awal kedatangan adalah masalah adaptasi bahasa yang dalam hal ini adalah bahasa ammiyyah. Secara praktis, Masisir harus beradaptasi dengan ammiyyah barang setahun dua tahun, menilik dasar bahasa yang mereka miliki adalah fusha, bukan ammiyyah. Dan dalam kurun waktu ini, mau tidak mau bahasa Arab yang sekian lama dipelajari di pesantren dilupakan, tidak mendapat ruang untuk berkembang dalam keseharian Masisir kecuali dalam bangku perkuliahan. Itupun sangat minim, menimbang prosentase Masisir untuk menghadiri bangku perkuliahan juga sangat minim. Celakanya, di tengah-tengah usaha untuk beradaptasi tersebut, mahasiswa masih harus dikecewakan oleh kondisi dan tipologi bangsa Arab yang cenderung kasar dan keras. Dalam berbagai fenomena, Masisir dibuat kecewa oleh prilaku-prilaku tak terpuji orang Arab. Tipologi yang kasar dan keras tersebut, tak sedikit membuat mahasiswa tak lagi interest untuk berinteraksi lebih jauh dengan orang Arab. Belum lagi kondisi kejiwaan yang belum stabil itu masih diusik oleh dosen yang lebih nyaman menggunakan bahasa ammiyyah ketimbang bahasa fusha dalam perkuliahan. Alhasil, bahasa fusha dilupakan, ammiyyah tak didapat.
Kedua; Tinjauan lingkungan (mileu). Dinamika keorganisasian yang majemuk banyak memberikan dampak positif bagi dunia kemahasiswaan Masisir. Namun di sisi lain, keadaan yang sedemikian rupa juga membawa pengaruh signifikan terhadap semakin melunturnya tradisi berbahasa Arab Masisir. Sebut saja organisasi kedaerahan. Mileu bahasa Arab semakin menjauh dari kata kondusif manakala dikaitkan dengan para aktifis yang menggeluti organisasi ini. Organisasi semacam ini memberi andil cukup besar dalam mempertajam lidah berbahasa daerah, yang akhirnya membunuh skill dan kecenderungan berbahasa Arab mahasiswa. Alhasil, sebagai alumni Timur Tengah, bukan bahasa Arab yang semakin fasih yang dimiliki, tetapi malah bahasa daerah yang bertambah lancar. Pada kesimpulannya, organisasi apapun yang dimiliki Masisir selain menyimpan nilai plus, juga berpotensi menghadirkan sisi negatif dalam segi kemajuan berbahasa Arab mahasiswa, jika tidak diimbangi dengan penyikapan yang solutif-progresif dari berbagai pihak.
Beberapa solusi:
Usaha sebagian organisasi untuk membentuk forum-forum yang berusaha concern terhadap eksistensi bahasa Arab Masisir sangatlah perlu diapresiasi, serta perlu mendapat antusias massif dari Masisir sebagai solusi penyeimbang atas kondisi yang memprihatinkan ini. Sebagai contoh, Language Community yang dibentuk oleh PII Mesir, penerbitan buletin berbahasa Arab "Lisan al-Akhbar" dan "Ukadz" yang diterbitkan oleh senat Fakultas Bahasa Arab (FBA), serta forum-forum diskusi bahasa Arab yang dibentuk oleh hampir seluruh organisasi kedaerahan Masisir. Akan tetapi yang perlu dicermati adalah, bahwa usaha-usaha di atas belumlah cukup memberikan solusi maksimal. Sebagai cerminan, buletin Musafir yang diterbitkan oleh PII Mesir pada edisi perdananya (28 Agustus 2007) menampilkan sebuah tulisan berbahasa Arab dengan judul "Nahnu wa al-Arabiyyah" yang ditulis oleh salah seorang anggota Languange Community pada rubrik yang sama di buletin tersebut. Dalam tulisannya, si penulis mengkritisi mayoritas Masisir yang tak mampu berbahasa Arab pada suatu kesempatan dialog publik. Tetapi konyolnya (karena menurut saya ini konyol), tulisan kritis tersebut -menurut istilah teman saya- tidak mencerminkan penulisnya sendiri bisa berbahasa Arab, karena sisi gramatikal (nahwiyyah) yang banyak tidak mengena serta uslub (gaya bahasa/ungkapan) yang digunakan tidak sesuai dengan maksud tulisan dan terkesan leterleg. Yang menjadi sorotan adalah, forum seperti Languange Community sebagai komunitas yang berkomitmen terhadap pengembangan bahasa ternyata belum mampu menjadi barometer bahasa Arab Masisir. Belum lagi, forum-forum diskusi berbahasa Arab mahasiswa selalu menjadi pemandangan betapa menyedihkannya kondisi bahasa Arab Masisir. Karenanya, penulis melihat perlu adanya solusi-solusi yang lebih progresif yang lahir dari kesadaran kolektif Masisir sebagai mahasiswa kampus Arab. Hal-hal yang dianggap sepele serta cenderung dilupakan seperti media massa baik cetak ataupun elektronik, justru merupakan solusi yang jitu untuk peningkatan mutu bahasa kalau kita cerdas mencermati. Karena justru dari media-media tersebut (surat kabar dan televisi) berbagai ungkapan bahasa yang indah dan tidak leterleg, serta kosakata yang manis dan berlimpah dapat kita petik. Sehingga dalam kapasitas kita sebagai alumni Timur Tengah nantinya, ketimpangan-ketimpangan seperti yang terjadi pada kasus buletin Musafir di atas tidak lagi terulang. Selanjutnya, perlu kiranya ada pendalaman secara lebih mengerucut, seperti partisipasi dalam kursus-kursus bahasa yang melibatkan komunitas yang benar-benar berkomitmen terhadap bahasa Arab, sehingga tercipta suasana yang kondusif dan dinamis. Sekolah bahasa seperti madrasah Orman, kuliah bahasa di Cairo University yang diadakan oleh Wazarah at-Ta'lim al-Aliy yang biayanya relatif terjangkau (150 pound per tahun), adalah sebagian dari banyak solusi yang tak mungkin saya sebutkan seluruhnya. Begitulah, bahasa Arab haruslah menjadi kebanggaan yang wajib dimiliki oleh Masisir dalam kapasitas sebagai calon alumni kampus Timur Tengah. Wallahu A’lam.◙