Saya sedang menjadi musafir saat tarawih pertama digelar Selasa (10/7) malam
lalu. Tibalah saya di sebuah musala,
belakang pusat perbelanjaan di Cibubur, Jakarta. Tepatnya di sebuah gang padat
pemukiman, nyaris tak tampak kecuali oleh mata yang awas. Namanya Jami’ul
Muslimin. Keterangan yang saya dapat dari warga, musala mini ini rupanya masuk
teritorial Bekasi, Jawa Barat. Seperti lazimnya tarawih pertama, jamaah
membeludak hingga ke teras musala, bahkan sejak azan isya’ belum berkumandang.
Laki, perempuan, tua, muda, anak-anak.
Saya merasa akan menjadi pusat perhatian puluhan jamaah lainnya, karena hanya
saya dan Edo, teman saya, yang mengenakan stelan jeans dan kaos untuk tarawih
malam itu. Kami tak peduli. Toh kami beribadah bukan untuk mereka. Lagipula,
kami harus mengejar sisa waktu magrib yang tinggal beberapa menit.
Azan isya’ dikumandangkan. Seorang berjanggut dengan baju koko, peci putih,
dan celana di atas mata kaki tampil sebagai muazin. Sembari menunggu iqamat,
jamaah masyuk dengan zikir masing-masing. Tak ada puja-puji atau shalawat Nabi
dikumandangkan dengan suara keras. Melihat ciri ini, saya menduga jamaah musala
ini tentulah berkultur Muhammadiyah. Bukan NU yang kental dengan tradisi pelafalan
verbal dalam beribadah. (Hegemoni kultur beragama di negara ini memaksa saya memandang
perilaku ibadah sebuah masyarakat dari dua kutub identitas: Muhammadiyah atau
NU. Kalau bukan Muhammadiyah, ya NU). Malam itu, kami akan salat tarawih
delapan rakaat, sebagaimana tradisi warga Muhammadiyah.
Saya semakin yakin dengan dugaan itu, manakala sang imam juga tak memimpin jamaah untuk
mengeraskan suara saat zikir usai shalat. Sampai ketika si bilal, lelaki dengan
celana di atas mata kaki dan berjanggut itu, memberi pengumuman kepada jamaah, “Malam
ini kita akan salat tarawih duapuluh rakaat. Bagi jamaah yang rakaatnya
berbeda, bisa diatur bagaimana baiknya,” katanya. Seketika, penilaian saya
terhadap identitas jamaah musala itu runtuh. Termasuk pada si bilal yang juga
muazin itu.
Saya tak bisa lagi menduga bahwa identitas jamaah yang sedang saya
“tumpangi” adalah Muhammadiyah. Sebab, duapuluh rakaat bukanlah identitas
Muhammadiyah. Ia dianut NU. Sebagaimana maklum, jumlah rakaat merupakan hal
paling prinsip dalam identitas kultur masyarakat Islam Indonesia selama ini. Apakah
NU atau Muhammadiyah. Namun, menduga bahwa identitas mereka adalah NU juga tidak
tepat. Sebab, diam dalam berzikir bukanlah identitas NU.
Sedangkan pada si bilal, dalam pikiran saya (mungkin juga orang lain,
seperti kawan saya Edo) telah terbangun semacam stigma, bahwa janggut, celana
di atas mata kaki, baju koko dan peci selalu berasosiasi pada Islam ekslusif
yang anti perbedaan, anti toleransi. “Salah satu cara mengidentifikasi ideologi
beragama seseorang adalah dengan memperhatikan pakaiannya saat beribadah,”
katanya. Tapi nyatanya, justru si bilal yang membuka ruang toleransi bagi
jamaah yang berbeda pandangan soal jumlah rakaat.
Sebetulnya masih ada satu lagi yang membuat kami merasa harus terjebak di
antara dua kutub ideologi itu. Yaitu tradisi berceramah di tengah-tengah
tarawih. Sungguh, itu sama sekali bukan tradisi NU. Tradisi itu dianut
Muhammadiyah. Namun jika melihat isi ceramah sang imam, anda tentu juga akan menduga bahwa dia berpaham NU. Dalam
ceramahnya, sang imam memberi tahu amalan-amalan tertentu dalam rangka
menyambut Ramadan. Salah satunya adalah menyelupkan makanan ke dalam garam yang
sudah dibacakan doa tertentu. “Ini seperti yang diajarkan para ulama saleh kita
terdahulu,” jelasnya.
Rupanya kami harus kecewa, tetapi juga sekaligus bangga. Kecewa, karena dugaan
awal kami mengenai identitas jamaah musala itu salah. Bangga, karena ternyata ketegangan
ideologis dan klaim kebenaran sektarian pada masing-masing NU dan Muhammadiyah sebagaimana
banyak terjadi, terutama di akar rumput, tak berlaku di sini. Yang menarik
adalah, bagaimana musala kecil ini mengakulturasi dua ideologi yang selama ini
dianggap mewakili kutub berbeda dan kerap bersitegang: zikir ala Muhammadiyah,
tarawih ala NU, dan ceramah ala keduanya.
Maka insyaflah saya, bahwa perbedaan perilaku ibadah tak perlu diseret ke
dalam golongan tertentu. Tak perlu memutilasi umat ke dalam sekat-sekat perselisihan,
apalagi hanya soal jumlah rakaat tarawih. Musala kecil ini adalah contoh bagaimana
toleransi menjadi solusi dalam menyikapi perbedaan. Sebagaimana namanya, ia
adalah rumah terbuka bagi umat Islam mana saja, golongan apa saja. Jami’ul Muslimin.
Penghimpun umat Islam.
No comments:
Post a Comment