Pages

Sorot

Monday, March 19, 2007

Semangat, dedikasi, serta kecenderungan intelektual Masisir perlu diacungi jempol. Sebagai komunitas kaum terpelajar yang kehadirannya dinantikan ditengah bangsa yang sedang 'sakit' dengan diagnosa penyakit yang complex, Masisir berusaha menjadi salah satu obat penyembuh salah satu penyakit yang diderita. Munculnya kelompok-kelompok kajian, forum-forum diskusi yang menjamur, study club-study club yang mengatasnamakan pengembangan intelektual yang akhir-akhir ini mencuat ke permukaan, adalah indikasi-indikasi yang menunjukkan ke arah itu. Adanya isu buruk yang beredar di tanah air, bahwasanya mahasiswa alumni universitas al-Azhar tidak bisa menulis bagus, menjadi salah satu sebab terkuat yang mendorong semangat ini. Ditambah lagi sistem perkuliahan al-Azhar yang jarang memberlakukan tugas menulis bagi mahasiswanya, semakin membuat Masisir merasa bagaikan singa yang akan mati kelaparan di padang rimba. Ya, Mesir adalah negeri gudang ilmu, gudang peradaban dunia. Mengapa harus ada cap buruk yang ditujukan kepada para alumni universitas tertua dunia ini? Inilah yang berusaha ditutupi oleh Masisir
Atas dasar itu semua, maka tidak berlebihan jika Masisir menjadikan forum-forum seperti di atas sebagai tempat pelarian bagi mereka yang selalu merasa haus akan segala macam ilmu dan disiplinnya. Forum-forum seperti itu menjadi pelampiasan Masisir yang tidak puas dengan hasil yang didapatkan dari bangku kuliah. Dari sanalah mereka belajar mengutarakan ide serta gagasan mereka kepada orang lain, menuangkannya dalam bentuk tulisan, kemudian mempresentasikannya dihadapan orang lain. Bukan itu saja, banyaknya organisasi yang merupakan representasi dari PPMI sebagai organisasi induk yang ada dalam kehidupan bersosial Masisir menjadi sarana tersendiri bagi Masisir untuk mengembangkan diri. Betapa tidak, maraknya organisasi berakibat pada lahirnya beberapa media yang mengatasnamakan pers dan jurnalistik yang menjamur pula. Berbagai hal bisa ditangkap dan disimpulkan sebagai penyebab hal ini. "Ada yang bersifat semacam fastabiqul khairat antar media, ada juga yang memang itu dianggap sebagai sebuah kebutuhan, ada pula pers yang berfungsi sebagai media dakwah," begitu jelas Udo Yamin Efendi, seorang pengamat pers Masisir yang telah dikarunia satu orang putra ini. Apa boleh dikata, setiap organisasi yang ada rasanya kurang lengkap jika belum memiliki media yang menampung aspirasi warganya. Bagaimanapun, keberadaan suatu media di setiap organisasi merupakan suatu keniscayaan, apapun dalih dan tujuannya; wadah silaturrahmi, penyalur aspirasi, bahkan gengsi sekalipun.
Dunia pers dan jurnalistik dalam sosial Masisir akhir-akhir ini memang mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Setidaknya dalam segi kuantitas. Hal ini diamini oleh M. Sholahuddin, pengamat pers Masisir yang juga salah seorang koresponden Gatra di Kairo ini. "Secara kuantitas memang sangat bagus. Dalam arti, dengan melihat kuantitas kita melihat semangat. Semangat untuk berpers. Karena hampir setiap organisasi mempunyai media pers, bahkan ada yang punya lebih dari satu media," ungkapnya.
Jika ada pepatah yang mengatakan bahwa segala sesuatu jika semakin bertambah banyak semakin murah harganya, maka hal ini tidak berlaku untuk Masisir. Kalau kita cermati, banyaknya media-media pers yang dimiliki Masisir tidak serta merta berakibat negatif. Bahkan sebaliknya, Masisir semakin memiliki 'daya jual' tinggi di mata masyarakat kita. Dengan kata lain, hal tersebut memiliki nilai positif bagi intellectual building Masisir. Salah satunya adalah semangat untuk saling berlomba. Dengan adanya banyak media, semakin banyak pula orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dus, prosentasi menulis yang dimiliki mahasiswa juga semakin bertambah. Senada dengan hal ini, Cecep Taufikurrahman, S.Ag, salah seorang tokoh Masisir yang juga ketua PCIM berhusnudzon mengenai akibat yang ditimbulkan dari banyaknya media yang dimiliki dan dikelola oleh Masisir ini. "Saya menilai positif, selama itu dikelola dengan baik. Karena itu mendorong mahasiswa untuk banyak menulis. Karena bagaimanapun, semakin banyak media, semakin banyak orang yang mengelola. Dan akhirnya semakin banyak pula orang yang mau menulis," ungkapnya.
Boleh saja Masisir berlomba-lomba untuk berpers ria dengan memunculkan beberapa media yang dikelola dan kemudian dipublikasikan kepada khalayak massa. Akan tetapi, apakah pers dan media yang dimunculkan itu sudah memenuhi syarat sebagai pers yang ideal? Rasanya Masisir harus lebih memperhatikan hal yang satu ini. Pasalnya, peningkatan kuantitas pers yang begitu menonjol tidak diikuti dengan kualitas. "Secara kuantitas, pers Masisir mengalami kemajuan. Akan tetapi secara kualitas, kita masih jalan di tempat," terang Cecep. Walaupun media-media yang ada bersifat untuk kalangan sendiri, untuk golongan tertentu, yang nota bene kebanyakan berprinsip "Media media kita, biarpun jelek kita juga yang punya," tetapi sisi idealisme suatu media harus tetap diperhatikan. Sebut saja beberapa media indie yang diterbitkan oleh beberapa organisasi kedaerahan, afiliatif, ataupun almamater tertentu. Tentunya akan terasa sangat janggal dimata pembaca jika media-media seperti ini hanya bertarget asal terbit, asal ada tulisan saja. Walaupun tujuannya baik, untuk mempererat silaturrahmi, misalnya. Lebih dari itu, maka yang perlu diperhatikan adalah bagaimana media-media yang ada tersebut bisa diterima dan dinilai baik oleh si pembaca. Bukan bagaimana media itu bisa terbit walaupun dengan terpaksa.
Munculnya media-media pers yang seperti bunglon dalam setiap organisasi (ada organisasi ada pers) itu barang kali berangkat dari sebuah stigma bahwa, untuk melahirkan pers yang dibutuhkan hanyalah printer dan alat foto kopi. Maka muncullah pers. Tentunya suatu hal yang sangat mudah, dan bisa dilakukan oleh setiap orang. Akan tetapi untuk menciptakan media yang betul-betul ideal atau paling tidak mendekati ideal rasanya kuantitas yang ada tidak sebanding dengan kualitas. "Sampai saat ini kita masih punya tugas besar tentunya untuk menyekolahkan insan-insan pers, termasuk juga persnya sendiri. Agar dengan kekuatan pers itu kita bisa menyumbang, karena kita disini membawa nama almamater al-Azhar", ungkap M. Sholahuddin ketika ditanya tentang idealisme pers Masisir. Senada dengan M. Sholahuddin, Nur Fuad juga berkomentar tentang hal ini. "Kalau dikatakan ideal, pers Masisir masih jauh dari ideal. Karena ideal adalah apa yang harus kita laksanakan, sedangkan kita ini hanya bisa melaksanakan apa yang kita bisa. Tetapi kita terus menuju ideal," ungkap presiden PPMI ini.
Untuk menciptakan pers dan media yang ideal memang tidak ada kriteria dan syarat-syarat tertentu. Tetapi ukuran kepantasan suatu pers untuk dijadikan konsumsi publik itulah yang harus dijadikan patokan. Jangan sampai media yang dimunculkan itu hanya membuat pembusukan karakter, membuang-buang tenaga dan waktu saja untuk membacanya. "Jangan sampai yang dibaca oleh orang itu sampah," istilah Udo. Lalu apakah media-media pers yang dimiliki Masisir saat ini telah mencapai target itu? Ataukah media-media yang terbit itu hanyalah calon-calon sampah yang akan menjadi alas panci di dapur?
READ MORE

Tertawalah...

Thursday, March 15, 2007

Si Argo

Suatu hari, si Argo, mahasiswa Indonesia yang keturunan Arab pulang dari kuliahan naik bis 80 coret. Dia duduk di samping orang Mesir yang duduk di sebelah jendela tepat. Ia tampak serius membaca koran ‘Al-Ahrom’ yang baru ia beli di toko depan kuliah. Di mahattah hay sadis, dekat kuliah banat, tiga orang mahasiswi Indonesia tampak memberhentikan bis yang ditumpangi si Argo ini. Ketiganya lalu masuk ke dalam bis. Jarak baberapa detik mereka telah berdiri di samping si Argo tepat. Argo masih terus membaca korannya
“Dasar orang Arab nggak tau diri, masa ada cewek berdiri di sampingnya nggak mau ngalah,” salah satu dari mereka berkata kesal.
“Iya nih, biasanya juga kalau ada cewek Mesir yang berdiri mereka langsung tanggap, nyuruh duduk,” ujar satunya.
Si Argo yang mendengar kata-kata kesal itu hanya melirik ke samping. Ia pura-pura tak mengerti apa yang mereka bincangkan. Ia masih membaca korannya.
“Eee…malah baca koran lagi. Senyum-senyum sendiri lagi..Dasar Arab gila!!!,” ucap cewek yang terakhir. Si Argo hanya senuyum-senyum kecil sendirian mendengar ucapan mereka. Seakan dia tersenyum karena membaca berita yang ia baca. Sampai akhirnya, bis yang mereka tumpangi telah sampai di kawasan Gami’, tempat si Argo tinggal. Dengan rasa tak berdosa si Argo berdiri ingin turun. Ketiga mahasiswi itu melihatnya dengan sinis. Si Argo masih tak peduli. Hingga ketika bis sudah berhenti, dan si Argo sudah berada di tengah pintu, sambil menoleh ke arah ketiga mahasiswi itu ia berkata; “Hai cewek….!!”
Ketiga mahasiswi itu lalu saling pandang. “Haaaaahhh…#@(**##$%” ucap mereka hampir bersamaan dengan nada keheranan bercampur malu.




READ MORE

Dinamika Masisir

Tuesday, March 13, 2007

Telepon dan Efektifitas Organisasi

Dunia Masisir selalu saja menimbulkan berbagai kesan bagi setiap kita, dinilai dari sudut pandang masing-masing. Dalam perjalanannya, Masisir sebagai cerminan dari masyarakat (miniatur) Indonesia telah berhasil mewarnai dinamika kemahasiswaan kita dengan “plus dan minus” nya. Adalah wajar, bila seseorang lebih cenderung mengomentari suatu hal dari segi minus (negatif) nya dari pada sisi positifnya. Karena suatu hal positif adalah hal yang sudah selaknya dilakukan oleh setiap orang, dan pada akhirnya hal tersebut menjadi kebiasaan. Maka orang tidak akan berkomentar terhadap kebiasaan itu. Akan tetapi jika kebiasaan itu tiba-tiba berbalik menjadi ketidakbiasaan atau bahkan menjelma dari prilaku positif menjadi negatif, maka sudah dapat dipastikan akan muncul berbagai komentar, omongan, bahkan kritikan. Ibarat seorang kiyai
orang akan melihat sebagai hal yang sangat wajar jika ia rajin pergi ke masjid, berjamaah, mengaji dan sebagainya. Lain halnya apabila ia melakukan hal yang tidak wajar baginya sebagai seorang kiyai, berjudi misalnya. Maka seluruh orang akan berkomentar tentang dia. “Anjing menggigit orang itu bukan berita. Orang menggigit anjing itulah berita”, istilah jurnalistiknya. Kembali ke Masisir, penulis merasa tertarik untuk mengomentari dinamika Masisir akhir-akhir ini.
Akhir-akhir ini Masisir disibukkan dengan seabreg rutinitas keorganisasian dan kepanitiaan pasca berakhirnya ujian termin pertama lalu. Keadaan ini berbarengan dengan jatuh temponya pembayaran tagihan telpon yang umumnya diadakan triwulanan oleh pihak Almasry lil-ettasalat. Setiap pengguna layanan ini harus membayar tagihannya jika sudah tiba waktunya. Seharusnya demikian. Namun bagaimana dengan Masisir yang juga termasuk sebagai pengguna jasa telepon? Penulis adalah salah satu dari tipe mahasiswa yang tidak betah mengurung diri di rumah, memilih untuk aktif di beberapa organisasi dan kepanitiaan. Sedikit banyak penulis mengerti dan merasakan perkembangan yang ada dalam dunia Masisir. Masalah telepon adalah salah satunya. Suatu saat penulis menghubungi berberapa orang teman melalui telepon untuk menghadiri rapat penting. Dari tiga nomer yang penulis hubungi, semuanya ternyata berbunyi sama; “Telepon yang anda hubungi sedang dinonaktifkan sementara. Silakan hubungi kembali beberapa saat lagi.” Jawaban yang sangat mengecewakan tentunya untuk hal sepenting itu. Saya lalu merenung, mencoba mencari-cari penyebab hal ini bisa terjadi. Keadaan seperti itu tidak mungkin terjadi jika si pengguna telepon bertanggung jawab membayar tagihan. Lalu saya teringat suatu hal yang biasa kita sebut ‘ngeces’ dikalangan Masisir, alias menelepon lama-lama hingga berjam-jam. Saya maklum. Namanya saja anak muda. Dalam suatu komunitas seperti Masisir, ketertarikan terhadap lawan jenis itu pasti ada. Apalagi kita sadari, kwantitas mahasiswa dalam dunia Masisir lebih banyak dibanding mahasiswi. Dari sekitar lima ribu jumlah Masisir saat ini, jumlah itu didominasi oleh pihak mahasiswa. Jika dihitung hitung, perbandingan itu bisa kita perkirakan tiga atau empat banding satu. Nah, dari sisi inilah saya menumukan jawaban. Pernah ada satu ilustrasi, satu orang mahasiswi bisa ditelepon oleh tiga sampai lima orang mahasiswa dalam sehari. Memang, ilustrasi ini terdengar geli ditelinga kita. Dan entah ini benar atau salah, tapi saya pribadi cenderung mengatakan ini sangat mungkin terjadi. Masalah telepon kelihatannya adalah masalah sepele. Namun dipercaya atau tidak, masalah yang kelihatan sepele ini sebenarnya berakibat fatal. Bayangkan jika kita sedang dalam suatu organisasi atau kepanitiaan. Suatu saat kita inigin mengadakan acara yang melibatkan seluruh anggota organisasi tersebut untuk bisa hadir. Atau kita menyebarkan pamflet yang isinya (seperti biasa) mencantumkan nama contact person beserta nomer teleponnya. Ternyata nomor telepon yang digunakan sedang non aktif, atau marfu’ istilah familiarnya dikalangan kita. Bisa dibayangkan, betapa susahnya organisasi tersebut. Tentunya kita akan berfikir dua kali untuk menghubungi masa yang begitu banyak via ponsel, walaupun itu mungkin saja dilakukan. Dan kalaupun mungkin, berapa banyak biaya pulsa yang dikeluarkan hanya untuk menghadirkan masa tersebut? Lagi pula, apakah dengan cara seperti itu sudah efektif? Hal seperti ini sudah pernah terjadi dalam salah satu organisasi kekeluargaan Masisir beberapa waktu lalu, yang berbuntut kepada pembengkakan biaya telepon. Sebagai akibat dari contoh kedua, masa yang sebenarnya ingin mendaftar sebagai peserta acara yang ditawarkan panitia, bisa saja merasa keberatan jika harus menghubungi panitia via ponsel, karena nomer telepon yang digunakan marfu’. Akibatnya, panitia harus kehilangan calon peserta yang ingin mendaftar, sedang waktu pendaftaran telah habis. Kalau sudah begitu siapa yang rugi?
Sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah jika tanggungan telepon itu bisa dilunasi tepat pada temponya. Tetapi hingga saat ini, di saat berbagai kegiatan non kampus sedang marak-maraknya diselenggarakan sebagai tuntutan oraganisasi, nomer telepon di rumah-rumah Masisir masih banyak yang berpredikat ‘marfu`’.Yang menjadi pertanyaan adalah, di mana tanggung jawab para pengguna telepon itu setelah pemakaian? Kalaupun ia bersedia bertanggung jawab untuk membayarnya sesuai lamanya pembicaraan (biasanya dengan cara mencatat), maka yang perlu diperhatikan adalah kepentingan orang lain selain dirinya ketika ia berlama-lama menggunakan telepon. Bisa saja ketika itu orang lain juga sedang dihubungi pihak lain karena kepentingan yang mendadak. Yang lebih perlu digaris bawahi adalah akibat yang ditimbulkan dari kebiasaan buruk ini (ngeces, hingga berakibat pada dicabutnya pemakaian telepon karena tagihan yang belum dibayar) bagi kefektifan dan keaktifan sebuah organisasi atau kepanitiaan. Dengan non aktifnya telepon baik dari pihak yang menghubungi atau yang dihubungi, sudah pasti berakibat pada efektifitas suatu acara. Walaupun akibat itu tidak sampai pada taraf gagalnya acara, minimal akan berakibat pada keterlambatan dari jadwal yang sudah ditetapkan. Dengan kata lain, acara akan terbengkalai gara-gara hal yang dianggap sepele tersebut.
Pada kesimpulannya, urgensitas suatu pembicaraan lah yang seharusnya menjadi takaran panjang pendeknya suatu pembicaraan melalui telepon, bukan murahnya biaya yang dikeluarkan permenitnya. Jika hal pertama itu yang diperhatikan, kemungkinan besar hal-hal diatas tidak akan terjadi. Akan tetapi, jika hal kedua yang menjadi ukuran, maka hasilnya adalah seperti yang sudah kita ketahui, biaya telepon membengkak, tak terbayar, lalu dinonaktifkan, dan kemudian berbuntut pada efektifitas sebuah organisasi. Bukankah perahu yang besar itu bisa tenggelam gara-gara lubang sebesar biji jagung?


READ MORE

Dongeng Kehidupan II

Titip Rindu Buat Laila
Cerpen Agus Khudlori*

Ia tersenyum, manis sekali. Lesung pipi itu, wajah anggun itu, sorot mata itu, senyuman itu...Bagaikan malam, ia adalah rembulannya. Bagaikan taman, ia adalah bunga terindah yang tumbuh di dalamnya. Ia berjalan, menapaki jalanan kotor berdebu. Pakaian dan kerudung panjang membungkus sekujur tubuhnya. Putih, seputih hatinya. Suci, sesuci jiwanya. Entah, aku merasa mengenalnya. Tidak cepat, tidak juga lambat ia melangkah. Semakin jauh langkahnya, semakin memburamkan pandanganku. Bayangannya lalu menghilang dari hadapanku. Aku masih berdiri kaku diatas tempatku berpijak. Ingin kuikuti langkahnya, tapi kakiku terasa terbujur kaku.
Sore kemarin aku melihatnya. Semakin lama aku mengingatnya, semakin erat bayangan dirinya melekat pada memoriku. Semakin jauh ia pergi, semakin dekat ia kurasakan. Tak kuhiraukan seruan adzan yang menderu-deru menyayat kalbu, juga bisikan kalam Tuhan yang dilantunkan di samping tempatku berbaring mesra dengan buaian hayalan di dalam selimut tebal. “Nikmat Tuhanmu mana lagi yang engkau dustakan?” suara Rohim mengakhiri bacaan panjangnya tak mampu menyentuh relung batinku. Hanya bagai angin lalu. Aku terjaga, tapi terdiam bagai patung. Aku terbujur lepas, tapi raga bagai terpasung. Mengapa diriku? Ahh, bayangan itu...
***

Siapakah dirinya?
Aku berjalan menapaki keheningan. Sudah seminggu berlalu sejak aku melihatnya. Sore itu ia melintasi jalan ini. Kutelusuri jejak langkahnya yang kini mungkin telah berganti dengan jejak langkah keledai dan anjing-anjing liar. Aku berharap menemukannya. Atau paling tidak, ia akan kembali melintasi jalan ini yang dilaluinya waktu itu. Aku bingung, ujung jalan ini ternyata bercabang. Kuteruskan saja langkahku. Jalanan ini telah sampai pada ujungnya. Ahh, aku tak menemukannya.
Seorang pengemis perempuan menggendong anaknya. Wajahnya kusam, pakaiannya lusuh. Di ujung jalan, di bawah tiang listrik, tangannya menengadah pertanda meminta belas kasihan di saat aku melintas di depannya. Aku menghampirinya. “Barang kali kita bernasib sama, wahai perempuan. Engkau belum menemukan rezekimu, dan aku belum menemukan orang yang kucari,” gumamku lirih di depannya. “eihh...? enta ulta li eihh??” perempuan itu bertanya tak mengerti. Aku hanya tersenyum. Kuulurkan tiga lembar uang yang ku ambil dari balik kantong celana kepadanya. “Robbuna yusahhil, robbuna yunajjihak...”. Aku berlalu dari hadapannya. Satu, dua, lima, hingga belasan langkah kutinggalkan dirinya. Langkahku terhenti. Kubalikkan badan, lalu berlari menuju ke arahnya. Ia ketakutan, menyembunyikan wajahnya dariku, menutupnya dengan anak yang digendongnya. Seakan tak rela jika uang yang telah kuberika akan kuminta kembali. “Aku hanya ingin bertanya kepadamu, wahai perempuan.” Ia mulai berani membuka wajahnya. “Apa engkau melihat seorang gadis Indonesia berpakaian hijau muda, berkerudung putih panjang, melintasi jalan ini seminggu yang lalu?” tanyaku. Ia hanya menggelengkan kepala tanda tak tahu.
Ohh, gila. Betapa bodohnya aku. Ya, aku memang telah gila. Bagaimana mungkin aku bertanya kepadanya tentang orang yang melintas di depannya seminggu yang lalu? Berapa banyak orang yang melintasi jalan ini dalam seminggu? Ia tak mungkin mengingatnya. “Barangkali engkau juga menganggapku gila, perempuan,” ucapku sambil berlalu.
***
Malam sebentar lagi menghadirkan pagi. Mataku belum juga terpejam. Hari-hari yang kulalui selalu menghadirkan bayangan perempuan itu. Wajahku menengadah ke langit-langit kamar. Ada wajahnya di balik pijaran cahaya neon. Aku membenamkan mataku. Senyuman itu tampak jelas dalam pekatnya kegelapan. Aku dihantui bayang-bayang, aku dihinggapi kegilaan. Aku terbayang... TIDAAKK...
Burung-burung berkicau bersautan, angin sepoi-sepoi menyeruakkan bunyi dedaunan, sinar mentari pagi masuk menerobos bilik-bilik jendela kamar. Suara mesin-mesin kendaraan di seberang jalan terdengar begitu sombong menertawakanku. Dalam kebisingan, aku merasa bagai di rimba tak bertuan. Sepi dan hampa. Aku begitu muak dengan keadaanku sendiri. Mengurung diri dalam kamar, menghabiskan berbatang-batang ‘Cleopatra’ dengan selingan secangkir teh kental agak pahit, sesekali menengok isi dapur. Ahh, mengapa kebebasanku harus terkekang oleh penjara yang seolah kubuat olehku sendiri? Bagai seorang pendekar yang turun gunung, aku keluar dari kamar yang lebih tepat disebut sarang. Putung rokok yang berserakan, pakaian-pakaian lusuh yang berjubel di dalam lemari, kertas-kertas bekas yang berceceran di atas meja, kutinggalkan begitu saja. Aku tak mengerti harus kemana. Kuikuti saja langkahku.
Ohh kupu-kupu, mengapa engkau menampakkan diri di depanku, di saat diriku sedang gila? keindahan dan keelokanmu mengingatkanku akan dirinya. Dirinya yang pergi. Juga yang tak kutemui. Eloknya terbangmu seindah langkahnya ketika berjalan. Tertunduk dan malu. Lebar sayapmu adalah kerudung panjang yang membungkus tubuhnya. Bunga-bunga wangi yang kau hinggapi adalah tempat-tempat suci yang selalu ia singgahi. Lembut suaramu adalah ayat-ayat suci yang selalu terucap dari mulutnya. Engkau lembut, seperti dirinya. Engkau elok, seperti dirinya.
Aku terdiam di pinggir trotoar. Mencari cela di antara rentetan mobil-mobil yang melaju bagai kilat. Mungkin sang sopir sedang kalap.
Di seberang jalan itu...Ohh dia. Benarkah dia?
Aku tertegun. Duhai kupu-kupu. Apakah dirimu sekarang menjelma menjadi dirinya? mungkinkah dia bidadari kiriman Tuhan yang dikirimkan untuk mengodaku? Tidak, dia manusia biasa sepertiku. Ya aku yakin, dia adalah gadis yang kulihat waktu itu. Aku harus menemuinya. Persis seperti.....
“Laila....” teriakku keras. Aku masih berada di tegah-tengah aspal ketika sebuah bis membawanya pergi. “Aaaahhhh..” aku berteriak bagai orang gila. Aku kecewa kehilangan dirinya lagi. Lesu kepalaku tertunduk.
Ahh, mengapa kusebut nama itu? Tidak. Aku belum mengenalnya. Aku baru tersadar.
“Kenapa engkau anak muda?,” seorang bapak tua bertanya heran melihat tingkahku.
“Engkau mengenal gadis yang berdiri di sini tadi?”
“Dia bukan Laila. Namanya Nisa.”
Aku heran.
“Bagaimana engkau bisa tahu?”
“Tentu. Dia adalah calon istri dari muridku, orang Indonesia sepertimu.”
“Apa? dia akan menikah?”
“Ya. Rusydi telah melamarnya. Minggu depan mereka akan menikah. Nisa gadis yang baik, pandai, dan santun. Tadi ia mengundangku.”
Aku hanya bisu mendengar kata-katanya. Lidahku terasa kelu. Aku masih ragu, inikah episode baru yang dimainkan oleh Sang Maha Kuasa untukku?
Laila...sudah lama engkau meninggalkanku. Tiga tahun yang lalu. Di saat masa-masa bahagia kita, ketika aku melamarmu. Seperti mereka sekarang. Bedanya engkau pergi mendahuluiku. Semula kukira dirinya adalah jelmaan dirimu, yang menggantikanmu untukku. Apa kabarmu kini di sana? Sudah lama tak kusapa dirimu. Ini, kuhadiahkan tiga kali Fatihah untukmu. Semoga engkau berkenan menerimanya. Engkau hidup di dalam hatiku. Izinkan aku menitipkan rinduku untukmu, kepada orang yang berhati bidadari seperti dirimu.- Tamat -

(Rumah rakyat Madjapahit, Kairo, 7 Maret 2007)
Untuk seorang bidadari yang kukagumi kehadirannya. Walaupun tak kumiliki, tetaplah engkau suci.

*Anak Rantau Poelaoe Biroe.



READ MORE

Essai

Menanggapi Dana Renovasi Wisma
Oleh: Agus Khudlori

Pembahasan masalah dana atau uang, selalu saja menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Apalagi jika masalah yang dibahas itu bersangkutan dengan maslahat orang banyak. Menanggapi apa yang diberitakan oleh Informatika edisi 117 lalu tentang renovasi Wisma Nusantara, penulis melihat ada hal yang sebenarnya menarik untuk dibicarakan. Hal ini tidak lebih karena yang sedang diangkat adalah masalah dana (uang).
Penulis mengamati ada beberapa hal yang memang belum disentuh oleh Informatika ketika menyinggung masalah dana yang akhir-akhir ini kian santer dibincangkan, yang rencananya akan dialokasikan untuk renovasi Wisma.
Baiklah, saya akan memulai dengan menyebut satu persatu hal yang sempat disinggung Informatika edisi lalu, diikuti dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan sebagai konsekwensi dari hal-hal tersebut.

Pertama; rencana pelaksanaan. Disebutkan, keinginan untuk renovasi itu telah muncul sejak Agustus tahun lalu, dan ditindak lanjuti dengan pengajuan proposal ke DPR-RI di Jakarta yang akhirnya proposal itu disetujui dengan rencana pengucuran dana. Maka dibentuklah tim yang akan menindak lanjuti sekaligus melaksanakan kerja di lapangan nantinya. Tetapi hingga sekarang rencana tersebut masih belum tersalaksana dengan alasan dana yang dijanjikan belum juga cair.
Kedua; dana yang disetujui. Dari proposal yang diajukan yang semula berjumlah 500 juta Rupiah, ternyata yang disetujui oleh DPR adalah sebesar 2 milyar Rupiah. Jumlah ini tentunya bukanlah jumlah yang sedikit, melihat keadaan ekonomi di Negara kita saat ini.
Ketiga; proses turunnya dana. Yang penulis tangkap dari pemberitaan Informatika lalu adalah, sebenarnya prosedur pencairan dana dari proposal yang diajukan sudah sampai pada tahap akhir. Ini dibuktikan dengan usaha DPR-RI sebagai pihak yang dituju untuk mentransfer dana yang disetujui melalui bank. Walaupun akhirnya dana tersebut belum juga cair hingga sekarang.
Keempat; kesalahan teknis. Dalam hal ini adalah nomer rekening yang dituju untuk pencairan dana tersebut. Disebutkan, dana yang sebenarnya sudah berada pada tahapan akhir proses pencairan itu terpaksa harus ditangguhkan pengirimannya dan dikembalikan, dengan alasan nomer rekening yang diberikan oleh pihak KBRI salah.
Setidaknya empat hal tersebut di ataslah yang dapat penulis tangkap dari pemberitaan informatika kemarin. Keempat hal tersebut di atas, sebagaimana kita ketahui, semuanya berhubungan dengan masalah dana. Maka dari sinilah penulis mencoba menyentuh sisi yang belum disentuh oleh Informatika berkenaan dengan masalah dana tersebut.
Saya akan menyebutkan berbagai kemungkinan-kemungkinan sebagaimana yang sempat saya singgung di atas berdasarkan keempat hal di atas. Penulis berharap tulisan ini tidak dipahami sebagai sebuah upaya untuk menjatuhkan pihak tertentu, atau dipahami sebagai sebuah prasangka buruk. Lebih dari itu, saya berharap tulisan ini dapat menjadi titik mula bagi siapapun kita untuk lebih cermat memahami keadaan.
Pertama; jika disebutkan bahwa keinginan untuk merenovasi bentuk fisik Wisma Nusantara itu telah ada sejak tahun lalu dan hal itu telah disepakati dengan turunnya dana, maka penulis melihat sangat mungkin terjadi adanya unsur kesengajaan dalam hal ini. Apalagi kalau kita perhatikan, proses yang ditempuh telah sampai pada tahap akhir (pengiriman melalui bank). Kalau pun alasan kesalahan teknis yang berupa kesalahan nomer rekening yang dikirimkan itu benar, maka dengan sangat mudahnya pihak yang bersangkutan akan mengirimkan nomer baru yang telah teruji kebenarannya. Atau minimal akan memperbaharui nomer yang dianggap salah tersebut. Dengan begitu, tidak akan ada lagi masalah. Akan tetapi, kemungkinan kesalahan rekening itu menurut hemat saya sangat tipis. Mengapa demikian? KBRI bukanlah Taman Kanak-Kanak, yang di dalamnya anak usia balita dididik untuk belajar menulis dan berhitung. KBRI adalah tempatnya para duta bangsa berdasi yang bekerja dengan tuntutan profesionalisme tinggi. Jika benar terdapat kesalahan nomer rekening yang dikirimkan oleh pihak KBRI sebagai wasilah untuk pencairan dana tersebut, maka yang menjadi pertanyaan adalah, di mana letak profesionalisme kerja KBRI sebagai duta bangsa yang mengayomi warga Negaranya? Bukankah urusan pengiriman nomer rekening adalah hal yang sangat mudah untuk dilakukan?
Kedua; dana yang dijanjikan untuk dialokasikan adalah 2 milyar Rupiah. Sebagaimana yang saya katakan, jumlah ini bukanlah jumlah yang sedikit. Kembali saya sebutkan, unsur kesengajaan sangat mungkin terjadi dalam penundaan (jika tak mau disebut gagal) pengiriman dana itu. Dengan ditundanya dana yang akan dicairkan dengan alasan kesalahan rekening, bukan kah bunga yang dihasilkan dari uang tersebut akan terus berjalan? Jika bunga yang didapat dari uang sebesar 2 milyar tersebut adalah 3 persen perbulannya (rata-rata tiap bank) maka bisa kita hitung hasilnya. Tidak kurang dari 60 juta uang yang dihasilkan dari bunga tersebut. Itu dalam sebulan. Sejauh yang penulis tahu, pengiriman dana melalui rekening yang dianggap salah tersebut sudah dilakukan sejak tanggal 22 Desember lalu. Hingga sekarang sudah terhitung hampir tiga bulan. Jika dihitung-hitung, berapa jumlah bunga yang didapat dari tiga bulan tersebut? Hasilnya adalah sebuah rumah mewah dapat terbeli dari hasil bunga itu.
Ketiga; kemungkinan adanya kong kalikong antara pihak yang ditugasi untuk mengurusi masalah dana tersebut dengan pihak bank. Melihat besarnya jumlah uang yang akan dikirimkan, kemungkinan terjadi pemanfaatan kesempatan sangat terbuka. Bukankah antara pihak bank dan pihak yang ditugasi itu sama-sama manusia? Selagi kesempatan itu ada dan pihak bank merasa mampu untuk melakukannya, mengapa tidak dilakukan? Toh itu adalah bentuk dari simbiosis mutualisme (sama-sama bekerja, sama-sama menguntungkan) antara kedua belah pihak.
Itulah beberapa hal yang menurut hemat saya sangat mungkin terjadi berhubungan dengan tarik ulur turunnya dana yang dijanjikan akan dialokasikan untuk renovasi Wisma Nusantara. Pada kesimpulannya, penulis melihat ketidak pastian kapan dana ini akan benar-benar cair, sangat mungkin terjadi karena unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang terlibat. Bukankah kejahatan itu terjadi bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tapi juga karena adanya kesempatan?

READ MORE