Pages

Anak Bangsa

Wednesday, August 8, 2007


MEMBANGUN DINAMIKA TUNGGAL IKA

Masa Pemilu Raya dan Sidang Umum sudah semakin dekat. Tatanan kedinamikaan Masisir dalam sebuah negara kecil bernama PPMI sudah semakin mendewasa. Sebagai organisasi yang berusaha mengadopsi sistem pemerintahan negara melalui SGS (Student Government System), PPMI Mesir melalui MPA telah sukses menjalankan satu-persatu rangkaian agenda Pemilu Raya, walaupun SGS sendiri dalam ranah dinamika Masisir masih menyisakan kejanggalan. Di antaranya adalah fungsi legislatif dan yudikatif yang keduanya berada dalam kekuasaan BPA. Dengan kata lain, trias politica belum sepenuhnya dijalankan dengan baik oleh organisasi PPMI. Terlepas dari persoalan SGS dengan trias politicanya, mari kita mencoba menyoroti satu permasalahan lain, capres dan debat kandidat. Di antara isu yang beredar seputar pencalonan capres adalah, semakin berkurangnya kepedulian Masisir terhadap organisasi induk yang menaungi mereka, PPMI. Hal ini diindikasikan dengan tiadanya calon yang mendaftar sebagai capres hingga batas akhir pendaftaran. Hingga akhirnya diumumkan perpanjangan waktu pendaftaran selama 1x24 jam, barulah muncul calon pendaftar. Belum habis isu ini dibicarakan, isu lain kembali muncul setelah dua calon mendaftar sebagai kandidat. Isu yang berkembang adalah, akan terjadi perang urat saraf antara kedua capres dan massa yang berada di belakang mereka. Capres pertama, diasumsikan sebagai perwakilan massa dari pulau Jawa, karena latar belakang dia sebagai orang Jawa. Sementara capres kedua, mewakili masa pulau Sulawesi yang jumlah masanya tak kalah banyak. Hal ini tidak terlepas dari adanya isu persengketaan dan diskriminasi pulau yang selama ini marak terjadi dalam beberapa fenomena kegiatan yang diadakan dengan dalih mempererat silaturahmi.
Jika benar isu perang dingin urat syaraf ini terjadi, apa gerangan yang akan terjadi selanjutnya? Gengsi dan fanatik kedaerahan akan tetap melekat dalam diri masing-masing Masisir, yang ujung-ujungnya hanya akan memperkuat sindrom apatisme antar daerah dikarenakan faktor trauma dari satu pihak, dan sentimentil dari pihak lain. Jika hal ini yang terjadi, maka sudah dapat dipastikan debat kandidat yang digelar sebagai salah satu pilar sistem demokrasi dengan sendirinya akan kehilangan fungsi, hanya akan menyisakan kesia-siaan berbungkus formalitas belaka. Ada dan tiadanya debat kandidat akan menghasilkan hal yang sama; kecenderungan memilih atas dasar ikatan kedaerahan dan fanatisme golongan.
Pemilu raya sudah di ambang pintu. Kedua calon telah mengusung misi yang berbeda, namun sarat dengan maksud dan tujuan yang sama; keberpihakan terhadap kepentingan Masisir secara umum tanpa tendensi kelompok atau golongan. Karenanya, siapapun calon yang akan terpilih ia harus bisa mewujudkan dinamika kemahasiswaan dengan aroma keindonesiaan yang kental, mampu mewujudkan kesadaran umum akan adanya “ketunggalan” dalam bingkai kebhinnekaan.

No comments:

Post a Comment