Pages

(T) AKUT?

Monday, May 13, 2013


Jika Izrail menjemputku sebelum jemariku-jemarimu menggenggam cita
Lapangkanlah jalanku dengan samudera maafmu
Mercusuar di pulau harapan jangan kaupadamkan

Sebab aku menunggumu di Taman Eden
Dengan larik-larik sajak yang kurangkai sedari lahat
Kuhamparkan sebagai karpet merah
Untuk menyambut kedatanganmu

Aku hanya merasa lambungku sudah terlampau ringkih
Hingga bubur yang lembutpun membuatnya merintih. 
READ MORE

CATATAN PERJALANAN

Inilah mengapa aku menyukai perjalanan: aku di dalam gerbong Matarmaja. Destinasi Jakarta. Dari jendela kaca, kota-kota yang dilintasi kereta ini tampak seperti pemandangan dalam akuarium. Meski kau pernah melintasinya di perjalanan darat selain kereta, aku berani menjamin, perjalan kereta membuat pandanganmu terhadap kota-kota itu jadi tak biasa.

Gerbongmu berjalan di titian malam. Kau adalah makhluk asing yang baru menginjak belahan bumi lain. Apa-apa yang tertangkap pandangmu tampak indah: pendar lampu-lampu jalanan, gemerlap reklame yang berjajar, gugusan sawah yang siap disemai, hamparan air sungai yang khusuk, yang permukaannya mengilap karena pantulan purnama di atasnya.

Di sekitarmu pengasong mondar-mandir menjajakan dagangannya. Atau pengamen yang menjual suara paraunya. Tapi kau tak peduli, sebab kau telah telah hanyut dalam duniamu sendiri di antara lagu-lagu kesayangan yang kauputar di lubang telinga dan paragraf buku-buku yang kaueja satu-satu. 

Aku lalu ingat Diary of Motorcycle-nya Ernesto 'Che' Guevara, Awlad Haratina-nya Nagib Mahfoudz, atau Bilangan Fu-nya si jalang Ayu Utami. Kautahu, Ernesto menghasilkan catatannya itu dari sebuah perjalanan darat menggunakan motor besar dari kampung halamannya di Argentina menuju Kuba, Nagib melahirkan inspirasi bagi karya-karya besarnya dari persinggahan dari kafe ke kafe. (Di negerinya, yang disebut kafe adalah kedai kopi dan sisha, bukan diskotek atau tempat karaoke). Lalu si jalang? Ah, sejak awal dia sudah mencantumkan perjalanan kereta dalam karyanya: Larung.     

Jika kautanyakan padaku kenapa kugemari sebuah perjalanan, maka inilah jawabku: itu adalah percik api yang memantik jiwamu. Memagut  pikirmu dengan ispirasi-inspirasi. Ya, kau bisa memungut inspirasi dari apa saja yang kaupandang di sepanjang lorong perjalananmu.

Kau bisa merasakan jiwamu tersulut semangat hidup, pengharapan dan cita. Lebih dari itu, perjalanan adalah cerobong yang menerbangkan luka-biru-lebammu di langit, dan menggantinya dengan hal-hal baru yang menyenangkan. 

Seperti inilah hal baru yang kutangkap itu: keretaku mendekati Caruban, Madiun. Aku terbesit tanya saat para pengasong di gerbong ini tiba-tiba mengemasi dagangannya dengan plastik hitam besar atau taplak batik, lalu menyelundupkannya di bawah kolong kursi penumpang. Sejenak kemudian aku mendapat jawaban bahwa mereka sedang ingin menyamar sebagai penumpang.

Bagaimana itu terjadi? Kautahu, sejak keluar instruksi direktur PT KAI yang melarang berjualan di kereta ekonomi beberapa waktu lalu, mereka tak bisa lagi seenaknya mondar-mandir di dalam gerbong. Untuk mengelabuhi petugas yang sewaktu-waktu bisa menjadi tukang pukul bayaran, penyamaran itu terpaksa dilakukan. Apalagi, kereta sudah mendekati daerah operasi (Daops) VII Madiun. 

Benar saja, sampai di Stasiun Madiun, tak satupun pengasong yang beraksi di dalam gerbong. Mereka mendadak menjadi siput yang bersembunyi di balik cangkangnya: meminjam kursi penumpang sambil  memelas, lalu duduk manis di kursi itu tanpa dosa.

Sebagian mereka bahkan ada yang rela tidur di bawah kolong kursi, dan meminjam tas penumpang untuk menutupi wujud mereka. "Ya nasib, ya nasib. Beginilah yang harus kami lakukan demi mencari sesuap nasi."

Begitulah, perjalanan bagiku adalah guru yang mengajariku ilmu-ilmu baru kehidupan.



READ MORE