Inilah mengapa aku menyukai
perjalanan: aku di dalam gerbong Matarmaja. Destinasi Jakarta. Dari jendela
kaca, kota-kota yang dilintasi kereta ini tampak seperti pemandangan dalam
akuarium. Meski kau pernah melintasinya di perjalanan darat selain kereta, aku
berani menjamin, perjalan kereta membuat pandanganmu terhadap kota-kota itu
jadi tak biasa.
Gerbongmu berjalan di titian
malam. Kau adalah makhluk asing yang baru menginjak belahan bumi lain. Apa-apa
yang tertangkap pandangmu tampak indah: pendar lampu-lampu jalanan, gemerlap
reklame yang berjajar, gugusan sawah yang siap disemai, hamparan air sungai
yang khusuk, yang permukaannya mengilap karena pantulan purnama di atasnya.
Di sekitarmu pengasong
mondar-mandir menjajakan dagangannya. Atau pengamen yang menjual suara
paraunya. Tapi kau tak peduli, sebab kau telah telah hanyut dalam duniamu
sendiri di antara lagu-lagu kesayangan yang kauputar di lubang telinga dan
paragraf buku-buku yang kaueja satu-satu.
Aku lalu ingat Diary of
Motorcycle-nya Ernesto 'Che' Guevara, Awlad Haratina-nya Nagib Mahfoudz,
atau Bilangan Fu-nya si jalang Ayu Utami. Kautahu, Ernesto menghasilkan
catatannya itu dari sebuah perjalanan darat menggunakan motor besar dari
kampung halamannya di Argentina menuju Kuba, Nagib melahirkan inspirasi bagi
karya-karya besarnya dari persinggahan dari kafe ke kafe. (Di negerinya, yang
disebut kafe adalah kedai kopi dan sisha, bukan diskotek atau tempat karaoke).
Lalu si jalang? Ah, sejak awal dia sudah mencantumkan perjalanan kereta dalam
karyanya: Larung.
Jika kautanyakan padaku kenapa
kugemari sebuah perjalanan, maka inilah jawabku: itu adalah percik api yang
memantik jiwamu. Memagut pikirmu dengan
ispirasi-inspirasi. Ya, kau bisa memungut inspirasi dari apa saja yang
kaupandang di sepanjang lorong perjalananmu.
Kau bisa merasakan jiwamu
tersulut semangat hidup, pengharapan dan cita. Lebih dari itu, perjalanan
adalah cerobong yang menerbangkan luka-biru-lebammu di langit, dan menggantinya
dengan hal-hal baru yang menyenangkan.
Seperti inilah hal baru yang
kutangkap itu: keretaku mendekati Caruban, Madiun. Aku terbesit tanya saat para
pengasong di gerbong ini tiba-tiba mengemasi dagangannya dengan plastik hitam
besar atau taplak batik, lalu menyelundupkannya di bawah kolong kursi
penumpang. Sejenak kemudian aku mendapat jawaban bahwa mereka sedang ingin
menyamar sebagai penumpang.
Bagaimana itu terjadi? Kautahu,
sejak keluar instruksi direktur PT KAI yang melarang berjualan di kereta
ekonomi beberapa waktu lalu, mereka tak bisa lagi seenaknya mondar-mandir di
dalam gerbong. Untuk mengelabuhi petugas yang sewaktu-waktu bisa menjadi tukang
pukul bayaran, penyamaran itu terpaksa dilakukan. Apalagi, kereta sudah
mendekati daerah operasi (Daops) VII Madiun.
Benar saja, sampai di Stasiun
Madiun, tak satupun pengasong yang beraksi di dalam gerbong. Mereka mendadak
menjadi siput yang bersembunyi di balik cangkangnya: meminjam kursi penumpang
sambil memelas, lalu duduk manis di
kursi itu tanpa dosa.
Sebagian mereka bahkan ada yang
rela tidur di bawah kolong kursi, dan meminjam tas penumpang untuk menutupi
wujud mereka. "Ya nasib, ya nasib. Beginilah yang harus kami lakukan demi
mencari sesuap nasi."
Begitulah, perjalanan bagiku
adalah guru yang mengajariku ilmu-ilmu baru kehidupan.