Pages

PPMI dan Demokrasi

Sunday, March 14, 2010

Dalam demokrasi, frase “mengayomi rakyat” seringkali digunakan para penguasa sebagai bahasa politik untuk meraih simpati rakyat. Orang boleh mengatakan, mengayomi adalah melakukan pelayanan dan pelindungan terhadap rakyat. Mendengarkan keluhkesah dan menjaring aspirasi yang datang dari rakyat, dan semua yang berbau kepentingan rakyat.
Tapi saya punya pendapat lain. Karena bagi saya, penjabaran-penjabaran seperti di atas terlalu melebar. Harus ada batasan-batasan bagaimana seorang penguasa melayani dan melindungi, mendengarkan aspirasi serta membela kepentingan rakyat. Jika tidak, ia akan menjadi seperti apa yang dikatakan Richard Nixon, pernyataan yang tak harus sesuai 100% dengan fakta, tapi harus bisa mempesona, seperti puisi.
Inilah pendapat saya: pengayoman terhadap masyarakat, setidaknya, bisa diterjemahkan dengan sikap proaktif mengidentifikasi potensi yang dimiliki rakyat secara jeli, lalu memberikan ruang yang cukup dalam rangka mengembangkan potensi-potensi yang masih tercecer itu. Itulah mengapa Soekarno pada pidatonya yang berapi-api pernah mengatakan, “Berikan padaku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia!”
Soekarno sadar benar dengan ucapannya. Ia telah melewati perenungan panjang sebelum akhirnya memuntahkan kata-kata tersohor itu. Di mata Soekarno, sepuluh pemuda adalah sepuluh kekuatan. Ia insyaf bahwa kemajuan bangsa harus dibangun melalui berbagai lini. Sepuluh pemuda dengan potensi dan kekuatan masing-masing itulah yang ia anggap cukup untuk menjadi tonggak pembangunan bangsa Indonesia, sehingga mampu menempatkan Indonesia di atas bangsa-bangsa lain di dunia.
Artinya, untuk bisa dikatakan mengayomi, pemimpin rakyat harus mampu menjemput bola. Harus insyaf pula bahwa keragaman potensi yang dimiliki rakyat adalah kekuatan yang harus tetap dilestarikan, dipupuk serta ditumbuhkembangkan sebagai satu kekuatan utuh untuk mewujudkan cita-cita kemajuan bersama. Mengayomi rakyat juga berarti memberikan kebebasan berbicara dan bertindak, di waktu dan tempat yang tepat. Orang boleh berkreasi apa saja, asal tak mengganggu orang lain. Orang boleh bernyanyi, menari, atau melakukan apa saja di waktu dan tempat yang tepat. Orang bebas bicara dan menulis apa saja, asal bertanggungjawab. Orang bebas mengkritik siapa saja, jika yang dikritik dianggap bersalah. Pada akhirnya, mengayomi adalah memberikan kebebasan untuk melakukan apa saja tanpa dihantui rasa takut. Pendapat saya ini, setidaknya, telah saya sesuaikan dengan konsep mengayomi dalam konteks demokrasi Masisir.
Demokrasi Masisir, dengan PPMI sebagai simbol tertinggi, hampir saja tumbang. Tanpa kepedulian terhadap hak-hak kebebasan itu, demokrasi Masisir adalah barang langka yang mahal harganya. Upaya pengebirian demokrasi, meskipun berusaha ditutup-tutupi, selalu ada. Ada semacam rencana terselubung yang dilakukan menggunakan tangan kekuasaan.
Saya jadi teringat sebuah kekonyolan – yang sebenarnya adalah upaya pembunuhan perlahan terhadap hak-hak demokrasi – yang dilakukan oleh PPMI. Hari itu bulan Ramadhan, menjelang Idul Fitri. Kabinet PPMI yang masih seusia jagung kala itu menyebarkan pengumuman lewat pamflet-pamflet mini yang intinya berisi: dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri, PPMI mengadakan acara takbir bersama dan penampilan akustik di KPMJB. Bagi anda yang ingin bergabung, dipersilahkan membawakan lagu-lagu religi dengan kriteria bebas, kecuali lagu-lagu Ungu dan Gigi.
Tentu saja, mereka yang paham dan tahu musik akan bertanya-tanya, apa kira-kira yang dimau PPMI? Setelah berpikir panjang, saya menemukan jawabannya: Ungu dan Gigi, meski punya lagu religi, tetaplah seperti grup-grup band sejenis lainnya, yang menurut hemat PPMI tak layak ditiru oleh Masisir.
Dus, PPMI bermaksud hendak membersihkan Masisir dari “kuman-kuman” yang bernama band, lalu menggantinya dengan hiburan yang lebih layak, semisal nasyid dan qoshidah.

Apa yang dilakukan oleh PPMI itu adalah bentuk pemasungan kreatifitas dan bakat Masisir dengan cara halus. Strategi aji mumpung, sebagaimana lumrah dalam dunia politik, dengan sempurna diterapkan. Mumpung berkuasa, maka berbuatlah apa saja! Dan itulah yang diperbuat PPMI: mempertegas proyek otoritarianisme yang anti demokrasi, anti kemajemukan, melalui sebuah pengumuman yang sederhana. Masisir digiring menuju satu warna, satu kecenderungan. Tak ada ruang untuk kemajemukan. Tak ada tempat untuk perbedaan.
Demokrasi Masisir hampir saja tumbang. Ketika suara-suara Masisir yang menuntut keadilan bagi korban kasus JS Oktober lalu semakin keras terdengar, di media dan di setiap tempat diskusi mahasiswa, PPMI menampilkan diri sebagai penguasa yang anti kritik. Keluhkesah dan pengaduan Masisir yang akhirnya berubah menjadi kecaman dan kritikan kala itu, ditanggapi dengan kebisuan. Bagi PPMI, menanggapi kritikan adalah seperti menyiram api dengan minyak. Untuk itu, jalan terbaik menghadapi mahasiswa adalah mendiamkan. Maka tak heran, ketika keresahan-keresahan mahasiswa itu semakin memuncak, satu-satunya jawaban PPMI di media adalah, “Allahumma ihdi qaumi, fa innahum la ya’lamun.” Masisir yang mengkritik dan memberi saran, yang mengadukan keluhkesah, yang menuntut keadilan, dianggap PPMI sebagai umat yang tersesat dari jalan yang benar, sehingga harus diberi petunjuk. Harus diluruskan. Tak ada diskusi, tak ada keterbukaan, tak ada kejujuran. Akhirnya, tak ada lagi pengayoman, tak ada lagi demokrasi.
Kita mungkin masih bertanya, seberapa penting arti demokrasi dan kebebasan? Mengenai hal ini, simaklah pernyataan Dr. Ahmad Burada’i, salahsatu kandidat Presiden Mesir pada bursa Pemilu Mesir tahun 2011 dalam harian al-Shorouk Januari lalu, “Saya tidak maju untuk posisi presiden, tapi saya maju demi terwujudnya demokrasi.” Demikianlah, pada tahap tertentu, kebebasan menjadi sesuatu yang mutlak dalam sebuah tatanan masyarakat. Begitu juga dengan kita. Dalam tatanan masyarakat yang beradab seperti Masisir, saya rasa, pengembangan kreatifitas mahasiswa dan proyek menghafal al-Qur’an atau jadwal talaqqi punya urgensitas yang sama untuk mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa dari berbagai lini.
Karena itu, Masisir perlu diayomi. Masisir perlu mendapat tempat. Jika tidak, harus dipercaya bahwa membiarkan sebuah masyarakat kehilangan hak dan kebebasannya adalah sebuah luka yang pasti meninggalkan bekas. Karena demokrasi, seperti kata Goenawan Mohammad, tak cuma bisa dilihat dari atas, dari asal ide demokrasi itu muncul, tapi juga dari bawah; dari posisi cacing yang terinjak, dengan gerak yang selalu diawasi, dengan kata-kata yang selalu dikekang.
Singkatnya, pengekangan terhadap demokrasi hanya akan menjadi bom waktu yang akan meledak dahsyat pada waktunya.
READ MORE