Pages

SASTRA

Monday, July 14, 2008


KISI-KISI API
Oleh Muarajiwa*

Ruang Tengah, Terhenyak

Hembusan udara tak sejuk. Sebentuk kepak sayap naga api mengitari kota gersang. Dengusnya gerah. Lidah runcing menjulur-julur merah. Nafasnya sayup, tapi sengat. Naga terus bercokol di langit kota ini, merenta tua. Empat bulan, atau lebih. Ular menyiluet bulan itu baru akan beranjak Oktober nanti, atau November. Setelahnya, hawa neraka tak lagi meraja buta.
Aku termangu di sudut fentilasi. Mengintip langit.
-Bagaima kabar langit? Masihkah biru?- Azura menodong tiba-tiba. Ia baru saja terjaga dari kursi panjang berukiran lengkung, tempatnya merebah semalam.
-Langit tak lagi biru. Ia ungu,- singkat jawabku. -Bagaimana bisa?- Azura mengulang tanya. Seperti kuduga, pertanyaannya akan menggelontar begitu saja, persis gulungan solasi di lantai licin. -Begitulah keadaannya. Kau benar-benar ingin tahu?- tanyaku ragu. –Ya,- tegasnya. Aku tak pernah menyana, ia akan sedemikian tertarik mengejar kata-kataku yang biasanya hanya imajinasi-imajinasi liar. Tentang hidup, tentang cita-cita, mimpi-mimpi yang belum sempat terbeli.
-Karena aku sedang mabuk,- jawabku. -Ah, jadi karena itu matamu tak lagi waras? Tak lagi jelas melihat warna, hah?- Azura menggerutu. Aku tak sedang mabuk seperti yang kau pikirkan. Aku tak sedang mabuk arak. Aku hanya mabuk cinta! Haha...- Aku melihat rautnya murka mendengar kelakarku. Aku lalu menggiring kata-kata. Menembus dimensi waktu. Azura antusias, belingsatan di sudut jengkelnya. -Aku dengar, di kota sana akan ada pameran buku. Kau tak tertarik mengunjungi?- Cuaca sangat panas. 38 derajat. Kau tak ingin kulit kepalamu terpanggang bukan?- Azura berat.
-Hey, hey... cuaca memang membara. Langit memang sedang murka. Tentu kau tak mau disebut pengecut hanya karena bakaran cuaca, bukan? Ingat, kau dan aku juga pernah punya bara. Mendidih!- -Sudah, sudah... jangan kau teruskan celotehmu itu. Aku juga masih belum pikun! Cepat kau bilang, ke mana kita akan pergi?- Azura merajuk. -Ke Husein. Belakang kampus,- jawabku ringkas. -Apa kau bilang? Husein? Belakang kampus?- Aku hanya tersenyum simpul. Tanda setuju. -Ah, kau tak perlu susah-susah berceloteh kalau hanya untuk mengajakku ke tempat itu. Kau tahu, tanpa kau paksapun aku sudah terlalu akrab dengan tempat kumuh itu!- Azura berlalu. Mandi.
***

Bis Kota, Termenung

Laju bis kota menyiput. Mengantar siapa saja ke mana saja dengan tujuan apa saja. Pengasong, pengemis, polisi, politisi, pencopet, pencuri, guru, dosen, pelancong, bahkan anak menteri. Mana pencuri mana polisi, mana pencopet mana anak menteri, aku tak pasti. Kabarnya, banyak polisi bertampang pencuri tersebar di kota ini. Intel, katanya. Bahkan, kabar yang kubaca dari koran kota ini menyebutkan banyak anak menteri yang tertangkap karena mencuri. Mereka keranjingan ganja.
Pandangku mengedar kosong, tak searah dengan pikirku. Azura membeku. -Apakah benci selamanya dikatakan absurd?- Aku memulai kata-kata. -Akan lebih selamat jika kau menggunakan kata iri. Bukan benci,- Azura bijak. -Keduanya hampir tak beda,- kilahku. -Kebencian apa yang kau maksud? Aku termangu. Seperti kehabisan kata-kata. Entahlah...- dadaku hanya sering bergemuruh mendengar kata... karya,- kataku lalu. Terlalu naif jika kau katakan itu sebagai benci. Itu hanya iri. Artinya, kau masih memiliki kekuatanmu. Jadi menurutmu itu bukan absurd?- -Tidak, itu wajar. Bukan hanya kau. Aku juga. Bukankah kau bilang kalau aku juga pernah punya bara? Dan imaji-imaji lalu berkelebat dalam pikiran masing-masing. Bisu. Liar.
***

Kios si Tua, Takjub

Si tua itu bernama Emad. Bapakku yang menamai, ceritanya tanpa kuminta ketika aku berkenalan dengannya. Bapaknya berharap kelak ia menjadi orang yang dapat diandalkan. Menjadi sang teguh di antara ratusan bahkan ribuan rapuh. Emad adalah tiang. Dan tiang adalah simbol teguh. Persis seperti namanya. Karena nama adalah doa. Si tua itu telah benar-benar tua. Aku menangkapnya dari jabat tangannya. Tapaknya empuk, kulitnya lunak berkeriput. Kening dan pipinya juga sudah berkerut. Ia duduk di atas kursi, tepat di belakang etalase buku-buku bekas yang menjadi dagangannya. Tangan kanannya menggengam buku. Tangan kirinya menumpu dagu, sesekali membenarkan kacamata. Sesekali juga melihat ke arah pengunjung kiosnya. -Kau suka sastra?- tanyaku. Karena aku melihat buku yang sedang ia baca. Qashr Syawq, karya Nagib Mahfoudz. Ya. Aku suka Nagib Mahfoudz,- jawabnya.- Aku juga suka. Aku baca Karnak Kafe-nya. Atau Awlad Haratina. -Oh ya? Kenapa suka?- kejarnya. Karena aku juga suka sisha, seperti dia. He...tidak, tidak...aku cuma canda. Aku menikmati tulisannya. Itu saja.- Tapi aku tak suka Nawwal, timpalnya. -Kenapa?- Karena dia wanita. Dan aku pria.- Jadi kau lebih memilih bersikap diskriminatif?- -Oh, bukan itu. Justru karena menurutku dia berlebihan dengan kodrat wanitanya. Begitu? tanyaku sambil menyedorkan sebungkus Cleopatra. Ia mengambil satu. -Ya,- jawabnya lalu. Azura di sudut kiri sana. Bercengkrama. Bagus-bagus, Ra, katanya. My Name is Rednya Orhan Pamuk. Zainabnya Haekal, Laila Majnunnya Nidzami, Azura menyebut satu-satu. Oia, namaku Muara. Dipanggil Ara. Panggilan kesukaan kekasihku. Tapi aku tak memanggil Azura “Ra”, seperti ia memanggilku. Aku menyebutnya Zur. Zura.
Kembali ke si tua. Menurut Zura, kios si tua sudah berdiri lama. Warisan bapaknya. Bukan hanya kios warisan bapaknya. Tapi juga gemar membacanya. Zura sudah lama mengenalnya. -Mengapa kau memilih menjaga kios? mengapa tak kau serahkan anak-anakmu saja?- tanya Zura setengah ragu. -Aku tak betah duduk di rumah. Aku lebih betah di sini. Karena di sini, hidupku juga berguna untuk orang lain. Aku suka orang seperti kalian. Bukan karena kalian membeli buku-bukuku. Tapi karena kalian menyukai buku,- jawab si tua. Zura sudah bersamaku, di depan si tua. Menenteng buku-buku. -Anak-anakmu?- Aku menambah tanya. -Tiga orang. Satu kerja di Kuwait, satu doktoral di Prancis, dan satu lagi perempuan masih di Ain Syams, si tua sambil menunjukkan satu persatu foto anaknya. -Dan kau sendiri?- aku penasaran. Aku hanya pensiunan dosen di Sastra Ain Syams. 1988. Aku bisu. Azura dungu. Karena Takjub.
***

RM. Barokah, Membara

-Pelajaran apa yang kau ambil dari si tua?- Azura sambil mengicip strup soda. Aku memilih es kopi susu. Cocok dengan Dji Sam Soe. -Aku masih terlalu kerdil di depan si tua, jawabku tak mengena.- -Lalu apa? -Lalu... masih banyak yang dapat kita lakukan sebelum menjadi tua, seperti si tua.- Satu hal yang belum kau tahu,- Azura seperti memancing. Kau tahu apa itu?- lanjutnya. Aku menggeleng. -Kau tak perlu terburu-buru membenci kata apapun. Karena si tua, tak menjadi si tua yang dosen sastra tanpa proses,- Azura sambil menyesap sebatang Gudang Garam. Ia tak sama denganku, yang lebih gemar Sam Soe. -Tapi, kau masih boleh membiarkan dadamu bergemuruh. Karena itu adalah api, yang berkobar di jiwamu. Agar jiwamu tak lagi hitam, seperti langit itu. Aku tak suka langit hitam. Menggantung tertutup awan, panjangnya. Aku patung. O, si tua. Sontak menyulut bara. O, jiwa.◙

*Anggota Sanggar Sastra Nusantara

READ MORE