Pages

Nasional

Friday, April 11, 2008


SINDROM POSTREFORMASI

Peralihan tiap kekuasaan dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, dari zaman kerajaan hingga kini, selalu ditandai dengan darah. Sejarah kerajaan nusantara tak luput dari catatan “tinta merah” pada setiap peralihan dari satu kekuasan menuju kekuasaan lainnya. Kediri di bawah Kertajaya, dimakar oleh Ken Arok di bawah panji Singosari. Demak berhasil menumbangkan Majapahit dan mengganti sendi-sendi pemerintahan dengan panji-panji Islam. Di era yang lebih modern, Orde Lama dengan jargon Revolusi dibawah kepemimpinan Soekarno, harus bertanggung jawab atas “tumbal” Revolusi G.30S yang didalangi oleh PKI menjelang bergulirnya Orde Baru. Selanjutnya, tumbangnya Orde Baru harus dibayar mahal dengan nyawa beberapa mahasiswa yang melayang akibat konfrontasi dengan aparat pada tragedi Trisakti. Apa yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah keinginan akan terwujudnya perubahan dalam tatanan pemerintahan. Jadilah era baru, Reformasi. Pada Orde yang paling baru inilah rakyat menumpukan harapan; perubahan dari tatanan pemerintahan yang eksklusif menuju yang lebih terbuka, dari diktator menuju demokrartis dan menghargai kebebasan. Reformasi yang oleh Habibie ketika menjabat Presiden ke-III RI dijabarkan dengan diberikannya kebebasan pers, kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat dan bahkan kebebasan berdemonstrasi guna mempercepat proses transformasi demokrasi dinilai telah berhasil. Inilah apa yang dikehendaki oleh Habibie sebagai “Kedaulatan Rakyat,” kekuasaan tertinggi adalah milik rakyat. Sejak saat itu, euforia kebebasan begitu terasa di segala lini kehidupan; politik, ideologi, agama, bahkan gaya hidup. Padahal, hal-hal inilah yang berusaha dipasung oleh Orde Lama pada masanya.

Setelah sepuluh tahun, angin Reformasi dirasa semakin “meninabobokan”. Akibatnya, batasan-batasan kebebasan menjadi gamang, tak lagi jelas. Salah satu akibat terfatal dari euforia kebebasan yang dimaknai secara membabibuta ini adalah dekadensi moralitas bangsa. Beberapa perangkat sosial dan politik turut bertanggung jawab atas hal ini. Kebebasan pers yang dahulu digagas untuk mendukung proses Reformasi, melonjak menjadi biang keladi maraknya pornografi, pornoaksi, selain pengaruh media lain. Dalih kebebasan berekspresi menjadi senjata utama untuk melegalkan segala bentuk moralitas tak manusiawi yang semakin mengekosistem; budaya gelamour, individualis, hedonis, anarkis, bahkan anti-sosialis. Singkatnya, harga mahal yang harus dibayar oleh Reformasi adalah hilangnya ruh Indonesia sebagai bangsa Timur dalam hal moralitas!

Dalam kancah politik, dunia perpolitikan yang pada Orba dimonopoli oleh Keluarga Besar Golkar (Partai Golkar, ABRI, dan Korpri) pada Orde paling baru ini menunjukkan kesumatnya. Bursa pencalonan peserta pemilu 2009 mencatat sekitar 80 partai yang mendaftar. Apakah membuncahnya populasi jumlah partai ini merupakan indikasi yang lebih baik bagi stabilitas nasional bangsa Indonesia? Tidak juga. Politik “tak sehat” yang dipelihara oleh Orde Baru berganti kemasan menjadi “penyakit-penyakit” lain. Atmosfir Indonesia penuh sesak oleh hawa kepentingan demi kekuasaan, sehingga terbentuklah apa yang disebut sebagai masyarakat semi anarkis; pilitik uang, politik kotor. Kampanye partai pakai uang, kampanye jadi Lurah pakai uang, bahkan demonstrasi yang katanya demi menegakkan hak pun harus dipolitisasi dengan uang.

Suksesnya Reformasi setelah sepuluh tahun sejak bergulirnya ini, mengindikasi kepada sindrom kebebasan yang berlebihan. Reformasi yang kelewatan. Partai politik dapat dengan leluasa menyusun strategi-strategi politik dengan misi masing-masing, karena kendaraan politiklah yang mendapat legitimasi resmi untuk menduduki struktur pemerintahan Indonesia. Muncullah kelompok-kelompok yang mengatasnamakan golongan nasionalis, agamis, sosialis, demokratis, sekularis bahkan mungkin neo-komunis dengan kepentingan yang sama: mengendalikan pemerintahan. Jika demikian, sungguh Indonesia hanyalah sebuah ajang perebutan kekuasaan para setan-setan politik. Lalu, “Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang tuk menghantam? Ataukah memang itu yang sudah digariskan? Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya.” (Iwan Fals, Sumbang)

Emosi massa dengan sangat mudahnya tersulut hanya karena sedikit perbedaan pendapat. Pelecehan-pelecehan terhadap para aparatur negara dengan sangat mudahnya terlontar dari mulut-mulut manusia tak bertanggungjawab. Konfrontasi berdarah antara aparat dan rakyat tak terhitung lagi jumlahnya. Hak Asasi Manusia diperdengungkan di ruas-ruas jalan demonstrasi, tetapi Kewajiban Asasi Manusia terhadap bangsa mereka lupakan. Yang akhirnya harus dituai adalah, pemerintahan bangsa Indonesia pasca Reformasi telah kehilangan wibawanya!

Kondisi semacam ini membuat stabilitas nasional tak lagi dinamis, jauh dari “Gemah Ripah Loh Jinawi.” Tentu saja, kondisi bangsa yang semacam ini tak mungkin selamanya dipertahankan. Jika pada masa Orde Lama kelompok pan-Islamisme yang direpresentasikan oleh SM. Kartosoewirjo -yang kemudian dicitrakan sebagai pemberontak- berani menentang kekuasaan RI dengan mendeklarasikan NII (Negara Islam Indonesia) karena kekecewaan terhadap pemerintahan waktu itu, bukankah nasionalis, sekularis, neo-komunis dan pan-Islamisme modern mempunyai ruang lebih luas untuk mengulang sejarah di era yang sering diartikan sebagai era kebebasan ini? Artinya, kancah politik bangsa akan mencapai titik muak dan mengharuskan perubahan -entah apapun bentuknya. Yang jelas, Postreformasi akan akan segera bergulir menggantikan Reformasi yang makin semrawut untuk menyempurnakan sejarah. Mau kemana bangsa kita?

READ MORE