Pages

KOMUNITAS

Friday, February 29, 2008


LOKAKARYA; DUKUNGAN ATAU HUJATAN?


Niat baik tak selamanya mendapat sambutan baik, tak juga selamanya dipandang baik. Apalagi jika tidak diimbangi dengan sosialisasi yang merata. Kaitannya dengan Lokakarya yang digagas oleh Duber RI untuk Mesir, banyak pihak, individual maupun institusional yang masih buta mengenai kebijakan yang sebenarnya cukup bijak ini. Melihat prestasi mahasiswa yang sudah sangat jauh dari titik ideal dalam hal akademis, Duta Besar menunjukkan keprihatinannya dengan cara menggagas lokakarya peningkatan prestasi mahasiswa yang menurut rencana akan terselenggara pada 12-13 April mendatang. Itulah mengapa gagasan dan ide ini bijaksana.
Akan tetapi, tidak dapat disalahkan pula apabila kemudian muncul beberapa anggapan dan tanggapan bernada pesimistis semisal, acara semacam ini hanya akan menghabiskan dana tanpa hasil yang maksimal. Atau menuai semacam kritikan berbasis sebuah anggapan bahwa Lokakarya hanyalah melibatkan sekelumit orang dari Mahasiswa. Padahal, merekalah pihak yang seharusnya diajak duduk bersama, karena bagaimanapun yang akan diperjuangkan adalah nasib dan masa depan mereka. Pesimisme mahasiswa semakin dipertajam dengan tidak jelasnya anggaran dana yang akan dialokasikan; berapa, dari dan untuk siapa. Memang, pada dasarnya gagasan acara semacam ini akan menelan dana yang tak sedikit. Wajar saja jika kemudian sebagian mahasiswa justru tak menganggap penting gagasan ini.Dan lebih tak diinginkan, mereka justru tidak bersikap pro-aktif menyambutnya. Di sinilah perlunya sosialisasi, informasi. Bisa dijamin, nada-nada pesimis ini muncul hanya karena dua persoalan ini; informasi dan sosialisasi. Manakala persoalan ini sudah teratasi dengan porsi yang merata, maka yang terjadi adalah dukungan sepenuhnya dari mahasiswa.
Adalah penting, bagi pihak penyelenggara untuk bersegera menggagas acara bertajuk sosialisasi yang berorientasi meyakinkan mahasiswa, bahwa Lokakarya terselenggara demi mereka. Bukan untuk paraelit berpesta ria, apalagi menghamburkan dana. Ini harus dilakukan sebelum penilalan-penilaian negatif mahasiswa tentang Lokakarya semakin menjadi. Bentuknya, bisa dengan duduk bersama dengan mahasiswa dalam sebuah forum –seperti yang biasa dilakukan- seperti Coffee Morning, atau sosialisasi melalui tulisan-tulisan di media yang ada; cetak, elektronik, maupun dunia maya.
Lokakarya memang terselenggara demi dan untuk mahasiswa, maka tak ada alasan untuk tidak pro-aktif menyambutnya. Itu yang harus bisa diyakinkan oleh pihak penyelenggara kepada mahasiswa.◙

READ MORE

ARUS BAWAH

Friday, February 8, 2008


CARA YANG SEHAT UNTUK BANGSA YANG TERHORMAT
Detik-detik Sebelum dan Setelah Keputusan Coffee Morning 5 Februari

Ini bukan sekedar persoalan besar atau kecil, bukan pula sekedar banyak atau sedikit. Ini tentang cara pandang terhadap sebuah komunitas, martabat dan kehormatannya. Semakin dianggap suatu komunitas keberadaannya, semakin kukuh ia bermartabat. Dan, itu yang lenyap dari citra bermasyarakat kita kali ini; masyarakat madani, kaum terdidik. Entah siapa, tentunya bukan kita, yang memposisikan kita bukan sebagai sekumpulan kaum terpelajar, sehingga cara yang baik menjadi tidak penting untuk ditempuh dan diterapkan kepada kita.
Masyarakat madani bukanlah masyarakat pekerjawi yang gagap komunikasi dan informasi. Sehingga untuk memutuskan kebijakan tidak perlu lagi ada diskusi atau surat edaran resmi, cukup dengan menempelkan secarik kertas bertuliskan “Permohonan surat-surat dikenakan biaya segini…” di loket antri KBRI Nasr City.
15 Dollar atau 90 Pound Mesir bisa jadi tidak berarti apa-apa bagi sebagian mereka. Tapi bisa jadi sangat berharga bagi mereka yang untuk hidup saja harus menjudikan nasib studi mereka. Tengoklah mereka yang berusaha menegakkan hidup dengan cara menjual jasa di warung-warung. Atau tengoklah antrian panjang minhah dan musa’adah tiap kali ada jatah. Apa artinya? Bahwa, besar dan kecil memang selalu ada dalam struktur bermasyarakat, bahkan dalam masyarakat terpelajar seperti kita sekalipun. Dengan begitu, tidaklah tepat generalisasi yang menyimpulkan komunitas kita adalah semuanya orang berpunya, dengan argumen semacam: “Kalian semua orang kaya, karena berangkat ke luar negeri bisa.” Atau alasan semacam: “Kalian semua orang berpunya, karena telepon genggam semua punya.”Kita tidak menginginkan jurang pemisah, atau menyekat-nyekat sekumpulan bangsa Indonesia di negeri ini menjadi dua strata berbeda. Kita hanya menginginkan komunikasi yang sehat lagi hangat, antara pemerintah dan yang diperintah, yang apabila ia baik dan dengan cara yang baik pula, akan kita taati sepenuh hati. Dan jika sebaliknya, akan kita tolak masih dengan cara yang baik. Tetapi memang keduanya harus terbentuk dalam pola pandang kita belakangan ini; Paraelit dan paraalit. Ningrat dan rakyat. Kalaulah hal itu ada sebabnya, maka yang kami lihat adalah karena tidak adanya cara yang sehat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kita.
Mesir harus memandang penting terhadap Indonesia. Slogan yang harus kita dukung dan perjuangkan bersama. Beberapa hal yang kita anggap sebagai cara tidak sehat untuk sebuah bangsa yang ingin bermartabat serta dipandang penting. Paraelit kita menurunkan keputusan yang berkaitan dengan mahasiswa tanpa didahului sosialisasi yang baik semacam memberikan surat edaran (karena pengumuman dengan secarik kertas di loket bukanlah cara yang baik). Paraelit kita mengadakan forum bertajuk sosialisasi di Konsuler Nasr City (30 Januari 2008), tetapi yang terjadi bukanlah sosialisasi karena kita disuguhi draft yang sudah jadi. Bukan sosialisasi karena itu sudah realisasi. Bukankah sosialisasi dilakukan sebelum eksekusi setiap keputusan? Kemudian paraelit kita juga terkesan menghindar untuk memberikan alasan yang jelas dan komentar seputar SK Kementrian Luar Negeri bertahun 2002 dan bertandatangan Presiden Mega. Belum lagi, paraelit kita terlalu sibuk untuk menerima wawancara dari media mahasiswa. Sementara itu, paraalit tak bisa berbuat apa-apa karena keputusan telah final. Secara yuridis keputusan ini tetap sah, tetapi kita tidak bisa menjamin itu sah menurut etis. Apa kesimpulan? Untuk menuju bangsa yang bermartabat dan dipandang penting, paraelit kita justeru tak menganggap penting bangsa sendiri, sehingga untuk menentukan kebijakan kita tidak perlu dilibatkan. Walaupun pada akhirnya diadakan beberapa kali forum bertajuk sosialisasi seperti pada 30 Januari di Nasr City (Griya Jawa Tengah) serta 5 Februari di Garden City. Kenapa lantas ada forum sosialisasi sana-sini, baru setelah ada reaksi dari mahasiswa? Tidak bisa dijamin forum seperti ini akan ada jika tidak ada reaksi balik dari mahasiswa, dan keputusan berjalan apa adanya. Adanya reaksi, berarti ada yang salah dengan cara yang ditempuh oleh paraelit kita. Dan reaksi tersebut akhirnya membuahkan hasil. Coffee Morning 5 Februari di Balai Budaya KBRI yang dihadiri utusan Kekeluargaan, Afiliatif, dan beberapa elemen PPMI memutuskan dibekukannya kembali undang-undang pemungutan biaya surat-surat di Konsuler untuk sementara waktu dan dalam jangka yang tidak ditentukan. Dan memang sudah selayaknyalah keputusan itu kembali dibekukan, mengingat langkah awal yang ditempuh oleh pihak Kedutaan tidaklah sesuai dengan iklim masyarakat kita (mahasiswa, bukan pekerja).
Yang perlu diketahui oleh semua, bahwa Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pemegang kebijakan ampuh. Artinya, kaitannya dengan pemberlakuan undang-undang pemungutan biaya seperti ini, Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah penentu keputusan, akan diberlakukan atau dibekukan. Terbukti dari ditolerirnya pungutan biaya bagi mereka yang terlambat visa kurang dari satu bulan, hingga akhirnya Duta Besar memutuskan untuk membekukan undang-undang ini untuk sementara waktu pada forum Coffee Morning 5 Februari lalu. Begitu juga pada dua dekade kepemimpinan Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang lalu (Hasan Wirajuda dan Bachtiar Ali), di mana pada masa keduanya tidak diberlakukan pungutan itu, walaupun pada waktu itu turun SK tahun 2002 pada masa presiden Mega tentang biaya surat-surat yang keluar dari Kedutaan.
Kita menginginkan adanya komunikasi yang sehat lagi baik untuk setiap keputusan yang berhubungan dengan mahasiswa. Karena itu adalah cerminan bangsa yang terhormat. Caranya tentu saja dengan memahasiswakan mahasiswa, dengan melibatkan mereka dalam setiap keputusan yang berhubungan dengan mereka. Demikianlah untuk diketahui, beberapa gambaran tentang pergolakan-pergolakan yang terjadi dalam pandangan mahasiswa pada detik-detik sebelum dan setelah keputusan Coffee Morning 5 Februari 2008.

*Disarikan dari suara-suara resah arus bawah
Kita tidak menginginkan jurang pemisah, atau menyekat-nyekat sekumpulan bangsa Indonesia di negeri ini menjadi dua strata berbeda. Kita hanya menginginkan komunikasi yang sehat lagi hangat, antara pemerintah dan yang diperintah, yang apabila ia baik dan dengan cara yang baik pula, akan kita taati sepenuh hati. Dan jika sebaliknya, akan kita tolak masih dengan cara yang baik. Tetapi memang keduanya harus terbentuk dalam pola pandang kita belakangan ini; Paraelit dan paraalit. Ningrat dan rakyat. Kalaulah hal itu ada sebabnya, maka yang kami lihat adalah karena tidak adanya cara yang sehat dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kita.
Mesir harus memandang penting terhadap Indonesia. Slogan yang harus kita dukung dan perjuangkan bersama. Beberapa hal yang kita anggap sebagai cara tidak sehat untuk sebuah bangsa yang ingin bermartabat serta dipandang penting. Paraelit kita menurunkan keputusan yang berkaitan dengan mahasiswa tanpa didahului sosialisasi yang baik semacam memberikan surat edaran (karena pengumuman dengan secarik kertas di loket bukanlah cara yang baik). Paraelit kita mengadakan forum bertajuk sosialisasi di Konsuler Nasr City (30 Januari 2008), tetapi yang terjadi bukanlah sosialisasi karena kita disuguhi draft yang sudah jadi. Bukan sosialisasi karena itu sudah realisasi. Bukankah sosialisasi dilakukan sebelum eksekusi setiap keputusan? Kemudian paraelit kita juga terkesan menghindar untuk memberikan alasan yang jelas dan komentar seputar SK Kementrian Luar Negeri bertahun 2002 dan bertandatangan Presiden Mega. Belum lagi, paraelit kita terlalu sibuk untuk menerima wawancara dari media mahasiswa. Sementara itu, paraalit tak bisa berbuat apa-apa karena keputusan telah final. Secara yuridis keputusan ini tetap sah, tetapi kita tidak bisa menjamin itu sah menurut etis. Apa kesimpulan? Untuk menuju bangsa yang bermartabat dan dipandang penting, paraelit kita justeru tak menganggap penting bangsa sendiri, sehingga untuk menentukan kebijakan kita tidak perlu dilibatkan. Walaupun pada akhirnya diadakan beberapa kali forum bertajuk sosialisasi seperti pada 30 Januari di Nasr City (Griya Jawa Tengah) serta 5 Februari di Garden City. Kenapa lantas ada forum sosialisasi sana-sini, baru setelah ada reaksi dari mahasiswa? Tidak bisa dijamin forum seperti ini akan ada jika tidak ada reaksi balik dari mahasiswa, dan keputusan berjalan apa adanya. Adanya reaksi, berarti ada yang salah dengan cara yang ditempuh oleh paraelit kita. Dan reaksi tersebut akhirnya membuahkan hasil. Coffee Morning 5 Februari di Balai Budaya KBRI yang dihadiri utusan Kekeluargaan, Afiliatif, dan beberapa elemen PPMI memutuskan dibekukannya kembali undang-undang pemungutan biaya surat-surat di Konsuler untuk sementara waktu dan dalam jangka yang tidak ditentukan. Dan memang sudah selayaknyalah keputusan itu kembali dibekukan, mengingat langkah awal yang ditempuh oleh pihak Kedutaan tidaklah sesuai dengan iklim masyarakat kita (mahasiswa, bukan pekerja).
Yang perlu diketahui oleh semua, bahwa Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pemegang kebijakan ampuh. Artinya, kaitannya dengan pemberlakuan undang-undang pemungutan biaya seperti ini, Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah penentu keputusan, akan diberlakukan atau dibekukan. Terbukti dari ditolerirnya pungutan biaya bagi mereka yang terlambat visa kurang dari satu bulan, hingga akhirnya Duta Besar memutuskan untuk membekukan undang-undang ini untuk sementara waktu pada forum Coffee Morning 5 Februari lalu. Begitu juga pada dua dekade kepemimpinan Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang lalu (Hasan Wirajuda dan Bachtiar Ali), di mana pada masa keduanya tidak diberlakukan pungutan itu, walaupun pada waktu itu turun SK tahun 2002 pada masa presiden Mega tentang biaya surat-surat yang keluar dari Kedutaan.
Kita menginginkan adanya komunikasi yang sehat lagi baik untuk setiap keputusan yang berhubungan dengan mahasiswa. Karena itu adalah cerminan bangsa yang terhormat. Caranya tentu saja dengan memahasiswakan mahasiswa, dengan melibatkan mereka dalam setiap keputusan yang berhubungan dengan mereka. Demikianlah untuk diketahui, beberapa gambaran tentang pergolakan-pergolakan yang terjadi dalam pandangan mahasiswa pada detik-detik sebelum dan setelah keputusan Coffee Morning 5 Februari 2008.

*Disarikan dari suara-suara resah arus bawah
** Pemred Informatika 2007-2008





READ MORE