Pages

Dongeng Kehidupan

Thursday, December 7, 2006

MENJEMPUT SURGA
(Untuk setiap derai air mata yang tumpah)
Oleh Agus Khudlori Ahmad*

“Aby, siapa mereka yang berjalan itu?”
“Mereka adalah saudara kita, anakku.”
“Kemana mereka akan pergi, Aby? Apa yang mereka bawa?”
“Mereka pergi mencari tempat yang aman, anakku. Mereka membawa makanan dan pakaian secukupnya.”
“Dimana rumah mereka, Aby? Kenapa mereka pergi? Apa mereka tak punya rumah seperti kita ini?”
“Anakku Ahmad, mereka punya rumah. Tapi mereka terusir..”
“Terusir oleh siapa, Aby?”
“Mereka terusir oleh ketidakadilan dan kebiadaban...”
“Ahmad anakku, kelak engkau akan mengerti tentang ini semua. Sekarang tidurlah. Malam sudah mulai larut. Esok pagi kau harus menemui Ustadz Abdullah di sekolah,” sang ibu meyahut dengan penuh kasih sayang. Ia membelai-belai rambut anaknya. “Tidurlah nak..” ucapnya lirih. “Baiklah, Ummy..” Ahmad mencoba memejamkan matanya di tengah kegalauan hatinya. Sesekali matanya terbuka, lalu ia benamkan kembali. Seakan tak ingin ia lewatkan harinya dengan meninggalkan beban. Beban ketidaktahuan yang selalu menyelimuti hati dan pikirannya. Pandangannya menerawang keatas, pikirannya melayang, entah ke mana.
“Aby, Ummy...ke mana mereka akan pergi? Di mana mereka tidur? Kenapa tak kita suruh mereka beristirahat di rumah kita ini?.” Ahmad bangkit dari pelukan ibunya.
“Anakku Ahmad. Itu bisa saja kita lakukan, tapi itu akan membahayakan kita.”
“Anakku, tidurlah nak..hari sudah larut. Biarkan Ummy membelai rambutmu.”
“Ahmad tak bisa tidur, Ummy.”
“Ahmad, benar kata Ummy. Kelak engkau akan mengerti tentang ini semua jika dewasa nanti. Sekarang engkau baru enam tahun, anakku. Sekarang tidurlah nak,” ayahnya mencoba menenangkan.

“Apa bedanya nanti dengan sekarang, Aby? Ahmad ingin tahu tentang hal ini. Kata Ustadz Abdullah, kita harus bertanya jika tidak tahu. Karena bertanya adalah kunci pengetahuan,” Ahmad mencoba membela diri.
“Baiklah anakku, Aby akan mengatakan sesuatu kepadamu. Dengarlah baik-baik. Mereka adalah saudara-saudara kita dari kampung kota Gaza, sebelah kota Ashkelon ini. Mereka pergi mencari tempat berlindung, karena kampung mereka telah dirusak oleh orang-orang jahat.”
“Kenapa kita tak menolong mereka, Aby? Bukankah mereka saudara-saudara kita?”
“Itulah kelemahan kita, Anakku. Benar, mereka adalah saudara-saudara kita. Tapi kita tak bisa berbuat apa-apa untuk mereka. Mereka yang berjalan itu diawasi oleh orang-orang jahat. Kalau kita menolong, mereka akan membunuh kita.”
“Siapa orang-orang jahat itu, Aby? kenapa mereka tak melawan?”
Ayahnya Nasser hanya diam tak menjawab. Ia merasa anaknya tak akan berhenti bertanya sebelum ia menghentikannya.
“Ahmad, malam ini kau harus istirahat. Esok pagi kau harus ke sekolah bersama kawan-kawanmu. Sekarang tidurlah..”
“Baiklah, Aby.”
Sementara itu, gelombang pengungsian masih terus mengalir. Satu persatu kelompok pengungsi diberangkatkan menuju camp-camp pengungsian. Kampung mereka dirusak, rumah-rumah mereka dijarah dan digeledah. Gaza disinyalir menjadi basis perlawanan para pejuang. Atas nama keamanan yang semu, Gaza harus dikosongkan jika tak ingin terjadi korban dari penduduk sipil. Pertumpahan darah akan terjadi disana, antara pejuang dan tentara Israel.
“Ya Allah, lapangkanlah hati mereka.” Aminah istri Nasser yang mengintip dari balik jendela berdo’a lirih.
“Suamiku, besok mungkin giliran kita yang terusir. Mereka terlalu pintar mencari alasan untuk mengusir kita dari tanah ini.”
“Jangan kau ragu atas pertolongan Allah, wahai istriku. Sesungguhnya pertolongan-Nya amat dekat.”
“Aku hanya khawatir dengan Anak kita, suamiki. Dia baru akan menikmati masa kekenak-kanakannya.”
“Engkau benar, istriku. Seandainya kita harus mati di tangan mereka demi anak kita, kita akan melakukannya di jalan Allah. Tapi tenanglah, istriku. Semuanya akan baik-baik saja dengan perlindungan-Nya. Lihatlah anak kita, ia telah tertidur pulas. Tak akan terjadi apa-apa padanya.”
“Suamiku, aku mencintaimu..”
“Akupun demikian, istriku. Aku mencintaimu.”
***
“Siapa diantara kalian yang ingin masuk surga?” Ustadz Abdullah mengawali pelajarannya dengan bertanya kepada murid-muridnya. Serempak seluruh murid mengangkat tangannya tanda setuju.
“Tentunya setiap muslim menginginkan untuk masuk surga. Tapi apakah kalian tahu, siapakah yang paling berhak untuk masuk surga diantara setiap orang muslim?” Ustadz Abdullah memberikan teka-tekinya untuk murid-muridnya. Tak satupun dari mereka berani mengangkat tangan.
“Abdullah guruku, izinkan saya menjawab.” Lantang suara Ahmad tiba-tiba memecah keheningan.
“Baik anakku, sampaikan apa yang ingin kau katakan. Murid-muridku, dengarlah apa yang akan disampaikan oleh teman kalian, Ahmad Yassin.
“Demi Allah tuhan yang tak ada tandingan bagi-Nya, sungguh orang-orang yang beriman diantara setiap muslim adalah yang paling berhak untuk menjadi ahli surga. Apabila ia berbuat sesuatu, ia melakukannya karena Allah. Apabila ia meminta pertolongan, ia hanya meminta kepada Allah. Ia bejuang di jalan-Nya untuk menegakkan kalimat-Nya diatas bumi ini. Menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ia juga mencintai Rasulullah, melibihi cintanya kepada dirinya sendiri. Semoga kita termasuk ahli surga bersama mereka yang beriman.”
“Semoga Allah memberikan rahmat-Nya bagimmu, anakku” Ustadz Abdullah mengungkapkan rasa bangganya.
“Anakku Ahmad Yassin, kemarilah.” Ustadz Abdullah menyuruh Ahmad maju ke depan kelas.
“Menghadaplah ke arah teman-temanmu. Anakku, sekarang gambarkanah tentang kehidupan surga kepada kita, supaya kita yang ingin menjadi ahli surga bertambah kuat iman kita kepada Allah seperti apa yang kau ungkapkankan tadi.”
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Muhammad utusan Allah. Sungguh telah benar Allah yang berfirman dalam kitabnya; Sesungguhnya orang-orang yang beriman lagi beramal sholeh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka disisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya. Itulah gambaran surga yang dijanjikan oleh Allah bagi setiap orang yang beriman,” Ahmad menerangkan dihadapan teman-temannya sekelas.
Perasaan bangga dirasakan oleh Ustadz Abdullah melihat keshalehan muridnya satu ini. Ahmad termasuk murid Ustadz Abdullah yang paling menonjol. Dalam usia yang masih dini itu, Ahmad sudah bisa berbicara dan berfikir layaknya orang dewasa. Sesuatu yang tak dimiliki oleh murid-murid Ustadz Abdullah yang lain. “Ya Allah, sesungguhnya aku melihat tanda keagungan-Mu pada muridku ini. Maka tegakkanlah agama-Mu melalui dirinya, jika Engkau menghendaki,” doanya dalam hati.
***
Kegelapan malam kembali menyelimuti Aljoura, perkampungan di bagian selatan kota Ashkelon. Seperti biasa, sunyi senyap selalu menyelimuti tiap kampung bagian kota jika malam tiba. Ahmad termenung di depan jendela kamarnya. Pandangan matanya menerobos bilik-bilik besi jendela menuju keluar. Gelap.
“Apa yang sedang engkau pikirkan, Anakku? Mengapa belum tidur?” Aminah yang membawa secangkir teh dari dapur untuk suaminya kemudian menghampiri anaknya.
“Ummy, Ahmad tak bisa tidur. Aby di mana?”
“Aby sedang membaca buku. Sebentar lagi menyusul kita ke kamar.”
Keheningan malam kampung Aljoura mulai terusik oleh suara deruan mesin yang samar-samar terdengar. Suara derap kaki yang beriringan dengan dengungan mesin menambah malam makin mencekam. Ahmad terheran, seakan baru pertama kali ia mendengarnya. “Ummy..apakah Ummy mendengar suara?”
Ahmad lalu berlari ke arah ayahnya di luar kamar. “Aby…apa Aby mendengar suara? Suara apa itu, Aby? Ahmad takut mendengarnya.”
“Aby tak mendengar apa-apa.”
“Di luar sana, Aby. Ahmad mendengarnya dari balik jendela kamar.”
“Kenapa anak kita, suamiku?,” ucap Aminah yang muncul dari kamar. Nasser hanya menggelengkan kepala. “Kemarilah, nak.” Ia memeluk anaknya lalu menggendongnya ke dalam kamar.
Suara deruan itu semakin lama semakin jelas terdengar. Nasser masih menggendong anaknya, membawanya kearah jendela. “Aby, suara itu makin jelas.”
“Ya, anakku. Aby sekarang mendengarnya.”
“Suara apa itu, Aby?”
“Mungkin hanya kendaraan pengangkut barang. Jangan takut, anakku.”
Semakin jelas suara itu terdengar. Nasser dan anaknya melihat kelap-kelip lampu sorot yang mengiringi deruan mesin-mesin itu. Tak lama kemudian, arak-arakan truk militer dan tank-tank baja melintas di depan rumahnya. Tentera Israel kembali memasuki kawasan Gaza, melintasi perkampungan di Ashkelon.
“Mereka kembali berulah?,” tanya Nasser dalam hati. Pucat memerah mukanya.
“Siapa mereka, Aby?” Tanya Ahmad penasaran.
“Suamiku..” Aminah menangkap wajah sedih suaminya.
“Mereka kembali datang,” ucap Nasser kepada istrinya lemah.
“Aby, siapa mereka?” Ahmad kembali bertanya.
“Anakku, merekalah orang-orang jahat itu. Mereka selalu berbuat kerusakan diatas tanah kita ini. Mereka ingin merebut tanah air kita ini dari tangan kita.”
“Jadi mereka yang mengusir saudara-saudara kita itu, Aby?”
“Ya, merekalah yang melakukannya. Barangkali besok giliran kita yang akan terusir oleh mereka.”
“Kenapa kita tak melawan, Aby? Apa kita takut sama mereka?”
“Tidak, anakku. Kita sama sekali tak takut sama mereka. Haram bagi kita menyerah kepada mereka. Para pejuang tanah air kita ini selalu berjuang melawan mereka. Mereka tak gentar menghadapi orang-orang jahat itu.”
“Aby, Ahmad ingin berjuang bersama mereka melawan orang-orang jahat itu. Ahmad tak ingin negeri kita diambil oleh mereka. Akan kulempar mereka dengan batu yang tajam, jika mereka berani mengusir kita dari tanah ini,” ucap Ahmad penuh semangat. Nasser meneteskan air matanya mendengar kata-kata anaknya. Teringat olehnya para pejuang yang gugur di tangan tentara imperealis Israel yang melawan kebiadaban mereka dengan lemparan batu. “Kenapa engkau menangis, Aby?”
“Tidak, anakku. Aby tak apa-apa. Anakku Ahmad, sekarang engkau masih kecil. Biarlah para pejuang kita yang akan melawan mereka. Jika mereka mati, mereka akan masuk surga karena syahid di jalan Allah. Jika dewasa nanti, engkau boleh berjuang bersama mereka melawan kebiadaban tentara-tentara penjajah itu.”
“Ya, Aby. Ahmad akan memimpin para pejuang untuk melawan para penjajah itu jika dewasa kelak.”
“Sekarang tidurlah, anakku. Kemarilah, biarkan Ummy memelukmu.”
“Baik Ummy, Aby. Ahmad akan tidur sekarang.” Ahmad kemudian tidur di pelukan ibunya. Ayahnya hanya termenung berdiri di depan pintu jendela kamar.
“Istirahatlah, suamiku.”
“Istriku, aku tiba-tiba teringat penduduk Gaza. Aku khawatir akan nasib mereka.”
“Kita serahkan semuanya pada Allah, suamiku.”
“Istriku, lihatlah anak kita. Apakah ia sudah tidur?”
“Ya, suamiku. Ia sudah terlelap.”
“Kemarilah, istriku. Mari kita berdiri sholat lalu memohon kepada Allah untuk anak kita. Sungguh, Allah telah memuliakan kita dengan anak kita.”
“Engkau benar, suamiku. Kita harus bersyukur kepada-Nya atas karunia ini kepada kita.”
***
“Kita tak boleh membiarkan rakyat negeri ini menderita. Setiap tetes darah yang tumpah dari penduduk negeri ini harus mereka bayar dengan darah pula.”
“Ya, Ahmad. Kita sudah terlalu sering tersakiti oleh kekejaman mereka. Engkau lihat, seorang anak kecil tak berdosa mereka tembak ketika sedang berangkat ke sekolah, seorang ayah yang membawa roti untuk anak-istrinya mereka siksa tanpa alasan, seorang ibu yang sedang berangkat ke pasar mereka permainkan, seakan kita ini adalah binatang yang tak layak hidup di atas tanah ini... ”
“Cukup, jangan kau teruskan, Aly. Ya, kita harus bergerak melawan kezaliman mereka. Tahukah engkau Aly, apa yang ada dalam pikiranku saat ini?”
“Katakan, Ahmad. Aku tahu engkau tak akan berfikir hal yang sia-sia untuk negeri ini. Aku berjanji akan mengikutimu jika engkau benar,” kata Aly meyakinkan Ahmad.
“Jumlah pemuda negeri ini tak sedikit. Mereka sama-sama sadar akan penderitaan rakyat negeri ini. Mereka ingin memperjuangkan hak-hak mereka yang terampas oleh keserakahan kaum zionis Israel. Aku berniat menyatukan mereka dalam satu wadah untuk membantu para pejuang negeri ini melawan penjajah Israel. Bagaimana engkau melihat hal ini, Aly?
“Ahmad, sungguh Allah telah memberikan rahmat-Nya bagimu. Aku berdo’a semoga kelak engkau menjadi pemimpin umat ini. Aku telah berjanji akan mengikutimu, jika apa yang kau lakukan adalah kebenaran.”
“Ya, kita akan segera menyatukan mereka. Jangan kau ragu dengan apa yang kita punya untuk melawan mereka. Batu-batu tanah negeri inipun sudah tak sabar untuk menjadi saksi di sisi-Nya atas perjuangan kita nanti. Batu-batu itu akan menjadi peluru yang menakutkan bagi mereka para bembuat kerusakan.”
“Akupun siap berjuang bersamamu di jalan-Nya, Ahmad.”
“Anak-anak batu. Ya, aku ingin menamai mereka dengan nama ini. Aku berharap nama ini akan menjadi penyemangat mereka walaupun harus berhadapan dengan peluru panas Israel.”
“Aku setuju. Nama ini bagus terdengar olehku. Semoga Allah meridhoi niat baik kita ini.”
***
Fajar telah memerah di ufuk timur langit Gaza. Azan shubuh telah berkumandang di seantero kawasan al-Quds. Hawa segar menyelimuti shubuh di al-Quds. Angin tak bertiup kencang, hembusannya terasa segar menyentuh tubuh. Pagi yang damai dirasakan oleh Ahmad Yassin ketika ia keluar rumah dari atas kursi rodanya menuju Masjid.
“Wahai guruku, sungguh aku mendengar mereka menginginkan nyawamu. Mereka akan bergerilya demi mendapatkanmu dimanapun engkau berada. Kami sungguh mengkhawatirkanmu,” ucap Sa’id, muridnya usai jamaah shubuh.
“Sungguh, aku juga sedang menantikannya. Aku rindu untuk segera berjumpa dengan-Nya. Maka janganlah kau khawatir, muridku.”
Menetes lah air mata Sa’id. Ia peluk erat tubuh ringkih gurunya itu. “Jika engkau harus pergi meninggalkan dunia ini, izinkan aku menemanimu,” bisiknya di telinga gurunya dengan tetesan air mata. Keduanya lalu saling berpelukan.
Shubuh telah usai, satu persatu jamaah kembali ke rumah. Ahmad Yassin ditemani anaknya Muhammad serta dua orang muridnya kembali menuju rumah. Hari masih gelap, ketika mereka keluar dari masjid menuju rumah. Kegelapan malam pecah oleh cahaya lampu sorot yang terpancar dari atas langit berawan. Sebuah Helikopter melintas di kawasan Gaza, tepat melintasi jalan yang dilalui Ahmad Yassin beserta murid-muridnya. Semakin mendekat, pesawat itu menjatuhkan beberapa peluru ke arah Yassin dan murid-muridnya. Israel memenuhi janjinya untuk mengejar Ahmad Yassin sampai nyawanya terlepas. Ahmad Yassin beserta anak dan dua orang muridnya tewas di tangan tentara Israel. Tiga buah peluru menembus dadanya.
***
Jamaah sholat dhuhur di masjid baru saja selesai. Seperti biasa, suasana riuh selalu terjadi ketika sholat telah usai. Aku kembali ke asrama bersama teman-teman sekampus. Kusempatkan membaca koran harian yang terpampang di etalase depan asrama. Sebuah judul besar dalam Laporan Utama dengan gambar seorang tokoh tua besorban terpampang di halaman utama.



“Harian Republika, 23 Maret 2004.
Teroris Israel Bunuh Syekh Yassin
JALUR GAZA -- Israel mengancam untuk menjadikan Yasser Arafat sebagai sasaran berikutnya. Dunia Islam sangat berduka. Syekh Ahmad Yassin, pendiri dan pemimpin organisasi perjuangan Palestina, Hammas, gugur di Jalur Gaza, akibat serangan helikopter Israel, Senin (22/3) menjelang fajar. Waktu itu, Yassin hendak meninggalkan sebuah masjid di Jalur Gaza. Bersama Yassin, sedikitnya tiga orang yang lain juga meninggal dalam serangan itu. Salah satu alat bukti yang tertinggal di lokasi kejadian adalah kursi roda Yassin yang hancur berantakan. Syeikh Ahmad Yassin yang dilahirkan pada 1938 di sebuah kampung bernama Al-Joura di daerah Ashkelon (Asqolan), ketika umurnya masih dalam usia kekanakan, beliau dan keluarganya telah diasingkan dari rumahnya ke Gaza. Semasa mudanya Ia bersama teman-temannya mendirikan sebuah organisasi pejuang muda Palestina yang kemudian ia beri nama ‘Athfâl hijârah’ (Anak-anak batu)...”
Aku termenung, mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Aku pernah mengenalnya. Tapi...dimana..?” Aku berharap akan mengingatnya. Subhânallâh...aku teringat pada mimpiku kemarin malam. Seorang anak kecil bernama Ahmad Yassin tinggal bersama orang tuanya di kampung Aljoura, daerah Ashkelon. Aku mencoba mencocokkan mimpiku dengan isi berita di koran. “Subhânallâh...Subhânallâh...” tak henti-hentinya mulutku bertasbih. “Sungguh, Engkau Maha Kuasa ya Allah. Aku bersyukur kepada-Mu. Engkau telah memilihku untuk mengenal serta melihatnya walau hanya dalam mimpi. Kini Ia telah pergi...” hatiku berbisik. Bergetar tubuh ini, merasakan dahsyatnya keagungan-Nya. Tak terasa air mataku tumpah, bersama tumpahnya air mata rakyat Palestina yang berduka atas kepergiannya. Aku bersyukur atas tanda keagungan-Nya yang Ia perlihatkan padaku. Ahmad Yassin yang kulihat dalam mimpi itu ternyata Ahmad Yassin yang kini meninggal di tangan Israel. “Selamat jalan, pahlawan. Sekarang engkau telah tiada, esok akan tumbuh seribu Ahmad Yassin setelahmu. Semoga engkau bahagia berada di sisi-Nya,” lemah ucapku lirih.
-The End-
*Mahasiswa fakultas Ushuluddin tingkat II,
Anak Rantau Lembah Hijau.

READ MORE

Akumulasi Kata

Tuesday, December 5, 2006

Puisi Kasih

Di ujung tanah ini aku menyapamu
Bersama desiran jantung rindu yang kian menyatu
Kucoba ingat masa laluku
Disaat kasihmu masih dekat di sampingku

Ini aku anakmu
Mencoba tegar berdiri
Di atas tanah terjal berbatu
Dan rintangan kawat berduri

Ayah...
Ingatkah engkau?
Ketika tanganmu yang kekar menamparku
Di saat anakmu ini mulai bengal
Tak pedulikan perintahmu

Ibu...
Ingatkah engkau?
Ketika jari-jari lentikmu mencambukku
Di saat anakmu ini mulai mengenal
Pahitnya asap tembakau

Ayah, Ibu...
Terimakasih telah menamparku
Terimakasih telah mencambukku
Hakikatnya engkau telah mendidikku
Dengan kasih sayang tiada bertepi

Kini aku telah terbiasa
Menghadapi kerasnya hidup
Seperti yang kau wariskan padaku
Untuk bekal jauh perjalananku

Ayah, Ibu...
Kini engkau pasti tersenyum
Melihat anakmu tumbuh dewasa
Dengan semangat untuk berkarya
Guna membuatku tersenyum juga

*Senja Kairo, 7 Desember 2oo6

READ MORE